Memaafkan dan berdamai dengan diri sendiri bisa menjadi penyembuh trauma bertahun-tahun. Kisah nyata ini dikirim oleh I. V. sebagai bagian dari Lomba Menulis Ramadan 2017.
***
Saya tidak akan menyangka, suatu saat saya akan menulis tentang pengalaman pahit dan penuh hikmah yang pernah saya alami. Saya pernah berpikir untuk membawa cerita ini sampai liang kubur saya. Tapi, saya memberanikan diri untuk berbagi disini, karena saya berharap orang lain akan mengambil pelajaran yang baik dari secuil kisah hidup saya.
Pelecehan Membuat Saya Menangis Sejadi-Jadinya
Saat itu, saya masih remaja yang duduk di bangku kelas 2 SMP. Sekolah saya yang letaknya di pinggiran kota, namun strategis dan berdekatan dengan terminal bus yang ramai akan pengunjung. Setiap pulang sekolah, saya akan menelepon ayah saya di wartel yang berjarak 500 meter dari sekolah saya dan menunggu untuk dijemput di pinggir jalan depan wartel tersebut.
Hingga suatu hari, seorang pria menghampiri saya, bertanya akan sebuah alamat pada saya, yang waktu itu dengan polosnya membantu orang asing tersebut. Tidak terpikir bagi saya untuk naik angkot lalu pulang, karena ayah saya tidak bisa menjemput seperti biasanya. Saya pun tanpa curiga dibonceng olehnya. Saya percaya, saya telah dibodohi habis-habisan. Ia melakukan pelecehan terhadap saya, setelah saya merasa terhipnotis oleh tipu daya pria tersebut. Sampai akhirnya saya tersadar bahwa saya sedang dilecehkan. Akhirnya saya turun dengan paksa, melawan dengan segenap tenaga saya. Saya masih bersyukur belum mengalami hal-hal yang lebih mengerikan dari itu.
Saya ditelantarkan di tengah jalan, perasaan saya campur aduk. Di jalan lebar sepi yang biasanya saya lewati, akhirnya saya mencoba untuk pulang berjalan kaki ke rumah. Jarak yang harus saya tempuh untuk pulang sekitar 4 km di tengah terik matahari. Pada akhirnya, seorang pria berseragam seperti pegawai pemerintahan menawarkan saya untuk menumpang padanya. Awalnya saya masih shock atas kejadian yang baru saja saya alami, saya was-was berlebihan, namun akhirnya saya diantarkannya ke depan gang rumah saya.
Sesampainya di rumah, saya disambut oleh ibu. Saya menangis sejadi-jadinya, namun saya tidak menceritakan apa yang telah terjadi pada saya. Saya memodifikasi cerita itu, dan menyampaikan pada ibu agar tidak perlu khawatir.
Satu bulan, dua bulan, hingga tiga bulan setelah itu, saya merasa dihantui oleh perasaan bersalah dan dendam, mengingat saya sempat mengutuk pria penipu itu sesaat setelah ia menelantarkan saya. Saya merasa tertekan.. Tuhan adalah satu-satunya yang bisa saya andalkan saat itu. Saya tidak ingin memperpanjang urusan ini dan membawa aib kepada keluarga saya.
Kejadian Sekian Menit Itu Berdampak Hingga Bertahun-tahun
Butuh waktu bertahun-tahun bagi saya untuk memutuskan berdamai dengan masa lalu pahit saya, perasaan saya, dan sudut pandang saya pada lelaki. Rasanya sakit sekali, memang. Namun, saya merasa tidak ada pilihan lain selain memaafkan. Memaafkan diri saya, yang mudah diperdaya, yang lalai akan nasihat orang tuanya untuk tidak ikut dengan orang asing di jalan, dan memaafkan pria itu, yang membawa sekian pengalaman pahit dan trauma yang harus saya tanggung sendiri.
Kini, 5 tahun sudah sejak kejadian itu. Saya sudah benar-benar lepas dan merasa damai akan pengalaman pahit itu. Saya adalah saksi hidup, bahwa waktu adalah obat yang disediakan oleh Tuhan untuk hambaNya.
Kini, saya sadar bahwa kejadian yang saya alami merupakan pengalaman berharga bagi saya dari Tuhan. Agar saya menjadi pribadi yang lebih baik lagi dari sebelumnya, dan menjadi diri yang pemaaf−tidak peduli sejahat dan sepahit apapun situasi yang menimpa diri kita.
Akhir kata, semoga kisah saya menjadi inspirasi bagi sahabat Vemale tersayang.
- Tak Perlu Momen Khusus Untuk Minta Maaf, Selagi Sempat Maafkanlah
- Kecewa Pekerjaan Tak Sepadan, Allah Menuntunku ke Negara Lain
- Lelah Depresi Hingga ke Psikolog & Ruqyah, Al Quran Sembuhkanku
- Teguran Allah Menyadarkanku, Keberkahan Hidup Berawal dari Jujur
- Untuk Ibu yang Tak Pernah Ada di Sisiku, Akhirnya Aku Memaafkanmu