Tak Perlu Momen Khusus Untuk Minta Maaf, Selagi Sempat Maafkanlah

Fimela diperbarui 02 Jul 2017, 12:02 WIB

Jangan menunda maaf, sebab kita tak pernah tahu apakah akan mendapat kesempatan untuk meminta maaf atau memaafkan. Sebab, setiap manusia tidak pernah tahu kapan napas terakhir akan berhembus. Kisah ini dikirim oleh W. R. sebagai bagian dari Lomba Menulis Ramadan 2017.

***

Di Indonesia, Hari Raya Idul fitri selalu identik dengan momen bermaaf-maafan. Pada hari yang suci lepas menjalankan ibadah selama satu bulan Ramadan tersebut jiwa ini ingin kembali bersih dan luput dari segala khilaf untuk kemudian bertransformasi menjadi pribadi yang baru. Segala bentuk permintaan maaf dihaturkan lewat beragam lini; bisa dengan bersungkem, menjabat dan memeluk, serta lewat rangkaian kata yang disebar melalui pesan-pesan singkat. Namun benarkah di Idul Fitri yang identik dengan semangat memaafkan ini kita telah benar-benar memaafkan? Atau semuanya tak lebih dari tradisi semata?

Sejatinya sebagai manusia kita tak perlu menunggu waktu tertentu untuk meminta maaf. Setiap saat kita boleh kok bermaaf-maafan. Toh kita juga nggak tahu selama berinteraksi dengan teman, keluarga, atau kerabat, adakah sikap atau tutur kita yang menyakiti mereka. Budaya seperti ini memang belum banyak dilakukan oleh masyarakat indonesia, saya pun dulu begitu. Melihat keangkuhan saya tersebut, Allah kemudian menghadiahkan sebuah masalah hidup berkepanjangan yang kini membuat saya sadar bahwa kita tak boleh menunda-nunda dalam meminta maaf.

Berandai-Andai dan Terus Berjuang Demi Kesembuhan Ayah

Ayah saya divonis menderita gagal ginjal ketika saya masih duduk di bangku SMP. Bagi anak remaja tanggung, kenyataan tersebut terasa begitu berat. Selain karena ayah tidak lagi bisa beraktifikas normal, kebiasaan saya pun ikut berubah. Ketika teman-teman lain asik bermain sepulang sekolah, saya hanya bisa duduk diam di ruang hemodialysis – menemani ayah cuci darah selama empat jam. Di rumah sakit saya tak punya teman. Di sekolah pun saya tak ditemani karena dianggap sudah tidak gaul. Lama kelamaan saya jenuh. Saya marah, kesal, dan jengah. Banyak pertanyaan menggema di kepala ini. Mengapa harus ayah saya yang sakit? Mengapa saya tak bisa seperti anak-anak lain? Mengapa saya harus bolak balik ke rumah sakit? Mengapa tak ada yang sadar kalau saya juga tersiksa dengan kondisi ini? Mengapa tak ada yang mau mendengarkan saya? Mengapa saya harus ada di posisi ini?

Segala ‘seandainya’ juga pernah meracuni saya. Seandainya ayah bisa lebih baik dalam menjaga diri. Seandainya keluarga saya kaya. Seandainya saya bisa memutar waktu. Serta beragam seandainya yang saya harap bisa menjauhkan masalah tersebut dari hidup ini. Saya juga kerap bertanya pada ibu, namun beliau terus saja berfokus pada ayah, tidak pada apa yang saya keluhkan. Alhasil saya mengambil inisiatif sendiri; untuk bisa keluar dari jeratan cobaan ini satu-satunya solusi adalah membelikan ayah ginjal baru. Tentu, saya belum punya uang saat itu. Satu-satunya cara yang dapat saya lakukan adalah belajar mati-matian agar bisa bekerja dan menghasilkan uang.

Saat SMP, saya terpilih menjadi salah satu murid terpandai di sekolah. Hal ini membuat salah satu SMA favorit di kota menerima saya tanpa tes. Di SMA kemudian saya masuk kelas akselerasi. Lulus SMA saya mati-matian belajar guna lulus tes masuk perguruan tinggi negeri. Alhamdulillah, lulus juga. Selama bertahun-tahun hanya kesembuhan ayah yang terus saya perjuangkan. Jujur, saya sempat marah dengan Tuhan. Saya jengkel dengan semesta. Pun saya jenuh dengan tatapan kasihan dari sekeliling. Dan, puncak dari kemarahan saya adalah ketika ayah justru dipanggil oleh Yang Maha Kuasa di saat saya hampir sampai di akhir perjuangan.

Sesal Itu Muncul Karena Aku Tidak Sempat Meminta Maaf Pada Ayah

Ayah akhirnya meninggal di saat saya sedang dikungkung deadline tugas akhir. Rasanya ingin meledak saat itu juga. Muntap. Marah besar. Perjuangan saya seakan tak ada nilainya. Pupus seketika. Saya kecewa pada waktu, keadaan, dan Tuhan yang tak bisa menunggu sedikit lebih lama. Masa depan yang selama ini dirancang sedetail mungkin akhirnya gugur begitu saja. Rasanya esok tak lagi sanggup dilalui. Yang terbayang hanya masa lalu dan kenangan yang membelenggu. Wajah ayah, senyumnya, nasihatnya, kesabarannya, kebaikannya, dan semua tentang ayah yang lalai untuk saya syukuri.

Di pertemuan terakhir, saya belum sempat mengutarakan bahwa saya menyayangi dan mencintai sosok yang belakangan pucat dan hanya mampu berbaring tersebut. Saya juga tidak sempat meminta maaf pada beliau.
Mendadak segala kesal berubah jadi sesal. Tiap kali berziarah ke makam ayah saya selalu meminta maaf karena belum sempat mengupayakan kesembuhan untuk beliau. Saya gagal menjadi anak yang berbakti. Tak lagi ada harapan untuk bisa melihat ayah tersenyum bangga karena melihat kesuksesan saya. Sudah terlambat, sudah tak ada lagi waktu.

Aku Butuh Hitungan Tahun Untuk Mengikhlaskan Kepergian Ayah

Butuh kurang lebih tiga tahun bagi saya untuk mengikhlaskan ayah dan memaafkan diri sendiri. Mencoba berdamai dengan diri sendiri adalah hal tersulit yang pernah saya alami; untuk berhenti menyalahkan diri sendiri, berhenti bergelayut pada masa lalu, dan mulai menata hidup yang baru. Rasa bersalah masih terus membayangi saya hingga kini. Jika tahu ayah akan pergi secepat ini, mungkin saya tak akan mengacuhkan segala hal demi fokus mengejar mimpi. Sebab yang terpenting adalah menikmati tiap momen bersama dia yang terkasih.

Sejak saat itu saya sadar bahwa apapun yang Tuhan berikan pasti ada hikmahnya. Sebagai manusia kita tak boleh terlalu keras kepala. Toh, Tuhan sudah mengatur semuanya secara terperinci. Kita hanya perlu mensyukuri apa-apa yang sudah Dia beri. Termasuk soal waktu. Tidak ada yang tahu kapan suatu hal berakhir. Tidak ada yang mengira bahwa kehilangan akan sesakit ini. Untuk itu, selagi masih ada kesempatan, ungkapkan apa yang perlu disampaikan, termasuk permintaan maaf. Tak perlu menunggu momen tertentu untuk meminta maaf, misalnya di Hari Raya Idul Fitri. Ketika kita merasa salah berucap, segera haturkan maaf. Karena kita tak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Bisa jadi yang kita sakiti tiba-tiba pergi atau malah kita yang lebih dulu tiada. Wallahualam.

(vem/yel)