Kecewa Pekerjaan Tak Sepadan, Allah Menuntunku ke Negara Lain

Fimela diperbarui 28 Jun 2017, 11:07 WIB

Pernah kecewa dengan pekerjaan 'biasa' dan diremehkan, sahabat kami menjalani rangkaian cerita dalam balutan keikhlasan. Kisah ini dikirim oleh N. RA sebagai bagian dari Lomba Menulis Kisah Ramadan 2017.

***

Memaafkan adalah lambang kejernihan hati dalam menerima suratan takdir. Sebagaimana kita tahu bersama bahwa perang terbesar adalah melawan hawa nafsu sendiri dimana dendam berperan dalam membolak balikan hati manusia. Bukan perkara mudah memaafkan diri sendiri. Namun Ramadan bulan nan suci mampu menaklukkan amarah menjadi ikhlas lantaran sejuta berkah menyelinap ke ruang hati manusia demi menggapai fitrah menuju hari kemenangan.

Kuawali kisahku dengan bertutur seputar Ramadan di tahun lalu. Kala itu, rasa kecewa luar biasa memuncak dalam diri karena karirku tengah berada di ambang keterpurukan. Aku seorang lulusan terbaik dari universitas ternama di negeri ini. Harapku untuk berkarir di institusi raksasa berskala internasional pupus sudah. Jabatanku tak lebih dari sekedar pendidik di sebuah sekolah yang tak begitu diketahui masyarakat. Hadirku hanya untuk menyaksikan kegiatan belajar mengajar bukan berbagi ilmu seperti apa yang kukira sebelumnya. Aku begitu marah karena pencapaian akademik yang kumiliki tak berbanding lurus dengan apa yang kuperoleh di dunia kerja.

Kesombonganku Membawa Dampak Yang Luar Biasa

Amarah membangkitkan semangatku untuk bergerak lebih jauh lagi. Hingga pada akhirnya kuperoleh kesempatan kerja di institusi pemerintah ternama dan posisi ini benar-benar merupakan impianku. Pencapaian terbaru ini membuatku harus mengundurkan diri di tempat lama. Dengan sedikit mendongakkan wajah aku berpamitan pada rekan-rekan sekaligus atasan sembari berucap bahwa keberadaanku tak lama lagi. Pekerjaan baruku layaknya pembalasan dendam atas rasa diremehkan yang sudah biasa kujalani.

Niat yang salah menjerumuskanku pada kebahagiaan sesaat. Rasanya memang benar bahwa sombong adalah awal kebinasaan seperti yang kualami. Tak pernah terpikir sedikit pun bahwa suka cita yang kurasakan hanya berlangsung sementara. Saat itu tiba-tiba saja masuk notifikasi ke ponselku yang menyatakan bahwa kontrak kerjaku di tempat baru tak mendapat persetujuan dari pihak berwenang. Otomatis impian memulai karir di tempat baru hanya menjadi cerita yang tak usai. Bagaikan hidup segan mati tak mau karenaku sudah terlanjur mengundurkan diri namun gagal beroleh kesempatan sehingga mendadak statusku menjadi pengangguran bertitel sarjana.

Uraian air mata bercucuran menemani detik demi detik takdirku yang serba mendadak. Jika orang lain tengah berbahagia menanti tunjangan hari raya di bulan Ramadan, maka berbeda denganku yang harus siap menahan diri karena sisa tabunganku yang tak seberapa harus kugunakan untuk bertahan hidup sebelum mendapatkan pekerjaan baru. Hatiku penuh gejolak seakan dendam dan maaf berlomba untuk tiba di pusat batinku. Tinggallah keputusan bergantung padaku apakah kemurkaan akan terus kupelihara atau memilih memberikan ruang pada kata maaf. Sulit rasanya menentukan pilihan terbaik dalam kondisi genting.

Allah Menuntunku Dengan Cara Yang Paling Indah

Waktu kulewati tanpa aktivitas berarti. Namun Tuhan tak membiarkan kesedihanku berlarut-larut. Sang Maha Pencipta mengirimkanku firasat dengan kedatangan seekor burung yang bertengger di pohon belakang rumahku. Burung tersebut terlihat tengah mematuk-matuk makanan yang diperolehnya. Tak lama kemudian makanan itu pun terjatuh. Kusangka burung itu akan kelimpungan mencari sisa makanan yang bertebaran. Namun sebaliknya ia kembali tegak berdiri dengan gesitnya kemudian terbang kesana kemari dengan kicauan ceria seolah menasehati bahwa masih banyak jalan lain jika satu kesempatan mendadak pergi.

Hatiku bergetar seraya melantunkan istighfar karena rasa haruku menyaksikan pesan Tuhan. Aku sadar bahwa segala yang terjadi merupakan hak perogatif-Nya. Kuhempaskan segala bentuk amarah dengan bertaubat dan meluruskan niat untuk menjadi individu yang lebih banyak bersyukur. Kutengadahkan tangan untuk berdoa sambil memandang teduhnya langit kota Bogor tempat kelahiranku. Bisikku saat itu

Tuhan, kuikhlaskan impian yang raib tiba-tiba, harapku izinkanlah aku untuk dapat menyaksikan Ramadan selanjutnya dengan memandang langit-Mu di negara lain selagi membangun karir yang lebih baik.

Benar saja bahwa Tuhan memang Maha Pemurah selama hambanya ikhlas meminta pada-Nya tanpa membiarkan dendam bersemayam di hati. Tangis bahagia mengiringi tulisanku ini, ingin kuberitahu pada kalian semua, bahwa kini, di Ramadan tahun ini, aku benar-benar tengah menatap langit-Nya yang terhampar di negara lain.

Kini aku tengah membangun karir dengan pemandangan Menara Kembar Petronas. Ternyata kata maaf dapat mengubah keputus asaan menjadi nikmat berlipat ganda. Asaku hilang namun tergantikan dengan karunia yang tak pernah kuimpikan sebelumnya atas jalan memaafkan diri sendiri. Karenanya maafkanlah ketidakbenaran niat demi menuntun hati berjalan di keridoan Ilahi.

(vem/yel)
What's On Fimela