Dari Ayah, Aku Belajar Maafkan Mereka yang Menyakiti Keluargaku

Fimela diperbarui 27 Jun 2017, 17:02 WIB

Memaafkan kadang tak mudah bagi sebagian orang, namun saat orang yang disayangi mengajarkan arti maaf yang besar, maka maaf menjadi sebuah media untuk melapangkan hati. Kisah ini adalah kiriman salah satu sahabat Vemale sebagai bagian dari Lomba Menulis Ramadan 2017.

***

Namaku Shela, aku ingin bercerita sedikit mengenai pembelajaran yang aku dapat dari ayahku.

Bisa dikatakan, keluargaku berbeda dengan yang lain. kami adalah keluarga minoritas yang memeluk agama Katolik. Saat minggu sore, kami sekeluarga pergi ke gereja, tapi pada hari biasa di sore hari aku dan kakak-kakakku pergi ke masjid untuk belajar mengaji bersama teman-teman. Lucu memang, tapi seperti itulah keadaan keluarga ini, ayah dan ibuku tidak pernah melarangku bermain dengan siapapun, bahkan pergi ke masjid sekalipun.

Meskipun, tak jarang aku dan kakak-kakakku mendapat ledekan khas anak kecil tentang perbedaan keyakinan itu. Namun sebenarnya lumayan menusuk hatiku kala itu. Bukan itu saja, mereka juga sering meledek ayahku. Bukan hanya anak kecil, bahkan ibu-ibu dan bapak-bapak tetanggaku juga sering melakukannya, mereka memanggil ayahku dengan sebutan yang kurang pantas mengenai fisiknya, mungkin mereka tidak bermaksud, tapi apakah mereka tahu akibat dari ‘ketidaksengajaan’ itu?

Waktu kecil saat usianya 8 tahun, ayah mengalami kecelakaan, kakinya tertimpa pohon saat bermain. Kaki kirinya terpaksa harus diamputasi Karena pada masa itu teknik pengobatan belum secanggih sekarang. Aku sering bersedih saat ayah diledek, aku kesal tapi tak bisa berbuat banyak, nyaliku terlalu kecil untuk melawan mereka dan para orang dewasa itu. Biasanya aku hanya diam, tapi dalam hati menangis.

Akhirnya Keluargaku Masuk Islam, Tetapi Ledekan Tentang Ayah Tetap Ada

Sampai suatu hari, hidayah telah menghampiri orang tuaku, ketika usiaku 5 tahun, kami sekeluarga memeluk agama Islam tepat beberapa bulan setelah ibu melahirkan adikku, anak ke-4 di keluarga ini.  Sudah jarang terdengar ledekan mengenai keyakinan beragama, mungkin Karena kami sudah sama dengan mereka yang tinggal di sekitar kami. Aku bahagia, aku merasa lebih damai saat itu. Tapi ledekan terhadap ayahku tidak kunjung surut.

Ayah memang orang yang keras, tapi sebenarnya hatinya rapuh. Ayah sering mengira bahwa aku malu memiliki ayah sepertinya yang kurang sempurna, setiap kali pula aku selalu meyakinkannya bahwa aku bahagia memilikinya. Aku menyayangi ayah meskipun aku selalu membuatnya menangis setiap ayah tahu kalau aku mendapat peringkat satu di kelas. Setiap tahun ayah selalu begitu hingga akhirnya aku menemukan cara yang tepat untuk menutup mulut nyinyir mereka terhadap kekurangan keluargaku. Iya, dengan prestasi!

 

Aku belajar sangat giat, aku bertekad untuk bisa membanggakan ayahku, orangtuaku dan keluargaku. Bahwa meski ayahku berbeda, ada sesuatu yang bisa di banggakan, yaitu cara ayah mendidik anak-anaknya. Dengan cara ini aku bisa mengubah ledekan menjadi pujian. aku ingin membuktikan bahwa dalam kekurangan masih ada kekuatan yang akan menjadi kelebihan yang bahkan mungkin tidak di miliki orang yang ‘normal’.

Dari Ayah, Aku Belajar Memaafkan Mereka

Ada hal yang membuatku makin bangga padanya. Ayah adalah satu dari beberapa orang yang menyandang disabilitas di daerahku. Tapi ayah memiliki rasa empati yang tinggi, beberapa kali ayah membantu orang-orang yang bernasib sama dengannya, membantu mengurus administrasi dan keperluan lainnya untuk mengajukan operasi gratis. Beberapa ada yang rumahnya jauh, ayah tak keberatan menghampiri mereka dengan membonceng motor menggunakan kaki palsunya. Perjalanan bisa menempuh 2-3 jam.
Mungkin melelahkan, tapi ayah tak pernah menyerah untuk membantu mereka. Ah, hati seperti apa yang telah Tuhan ciptakan untukmu ayah?

Pada akhirnya, Aku maafkan mereka yang telah menyakiti keluargaku dengan ‘kata-kata’. Aku harap mereka sadar satu kalimat berpengaruh pada kehidupan seseorang. Dari ayah aku belajar sabar dan belajar untuk kuat. Mungkin usahaku kali ini belum terlihat, hanya segelintir pujian saat aku masih sekolah. Kini aku sudah bekerja, aku juga sedang berusaha menamatkan S1 dengan baik di Jakarta dan aku sedang berpikir hal apalagi yang bisa aku lakukan untuk mencegah mereka menyakiti keluargaku lagi.

Entah apa yang dirasakan oleh ayahku, bahkan aku saja yang ‘hanya’ anaknya merasakan sakit yang luar biasa, bagaimana dengan ayah yang benar-benar mengalaminya. Tapi aku sangat yakin ayah memiliki jiwa yang kuat, ayah hanya perlu waktu untuk menyesuaikan semuanya dan memaafkan mereka yang tidak tahu menahu tentang ayah. Terima kasih ayah, aku belajar banyak darimu, dan maaf aku belum bisa melindungimu

(vem/yel)