Memaafkan kadang tak mudah sebab luka di hati seringkali menyisakan bekas. Namun, sulit bukan berarti tidak bisa. Kisah ini dikirim oleh salah satu sahabat kami sebagai bagian dari Lomba Menulis Kisah Ramadan 2017.
***
Tidak ada hari baik dalam hidupku, semuanya begitu kelam sampai menurutku semua hari adalah sama saja. Sama-sama menyebalkan. Hari itu, aku sangat ingat, hari minggu. Tepatnya 6 tahun yang lalu, saat aku masih di bangku SMP kelas 3. Detik-detik menuju ujian yang bahkan semua murid harus belajar, tapi aku tidak. Dimana semua gadis seumuranku mendapatkan dukungan orang tua, tapi aku tidak. Bahkan untuk satu teman saja, aku tidak punya.
Ayah Bangkrut dan Pergi, Ibu Juga Pergi Meninggalkanku Seorang Diri
Hari itu, bahkan lebih menyakitkan dari segala kesialan yang pernah menimpaku selama hidup. Ayahku bangkrut dan kabur, lalu ibu serta adikku meninggalkanku sambil menangis. Ibu pergi jauh dan tidak bisa membawaku pergi, karena saat itu, besoknya aku harus mengikuti ujian kelulusan. Aku ingat, saat itu ibu berjanji akan kembali untuk membawaku setelah lulus. Aku ingat, bahkan sampai sekarangpun aku masih ingat bagaimana perihnya satu janji tak tersampaikan itu.
Beberapa kali aku mencoba untuk tidak menangis, aku tidak bisa, bahkan rasanya sampai sesak di dada. Rumah sederhana itu cukup luas, namun sangat hening. Aku kesepian dan ketakutan disana. Seberapa keras aku mencoba untuk bangkit dan berdiri, aku tidak sanggup. Sampai akhirnya ujian dimulai, dan semua berantakan. Aku tidak belajar, karena aku lelah menangis. Kerjaanku di rumah hanya tidur dan makan, itupun jika ada tetanggaku yang berbaik hati memberiku makanan.
Sudah dua hari, tidak ada yang mengunjungi rumahku bahkan menawariku untuk tinggal bersama. Tidak saudaraku sekalipun. Teman? Saat aku terlihat rendah karena ayahku bangkrut, tidak ada yang mau berteman denganku. Yah, bahkan aku saat itu benar-benar kesepian. Tidak ada ponsel untuk menghubungi kedua orang tuaku, ah, bahkan mereka tidak menanyakan kabarku melalui ponsel tetangga. Kukira mereka memang sengaja membuang sial, dan kesialan mereka mungkin berwujud sebagai “aku”.
Plang bertuliskan “Rumah Dijual” akhirnya terpampang jelas di pintu rumahku. Aku diam, tidak mengeluarkan ekspresi apapun. Sudah seminggu setelah ujian, salah satu saudaraku yang biasa kusebut bude datang. Dia mengemasi semua bajuku dan menggenggam tanganku erat sambil menangis. Saat itu saking kesalnya aku menghentakkan tangan beliau, membuat budeku terkejut dan berhenti menangis. Bahkan sakit hatiku saat itu tidak bisa aku ungkapkan, ya, mungkin karena saat itu aku masih seorang gadis kecil yang tidak tahu menahu tentang urusan orang dewasa. Aku hanya tahu bahwa aku adalah anak buangan yang bahkan semua orang tidak peduli.
Hati Ini Masih Sulit Memaafkan Orang tuaku, Namun..
Sudah satu tahun berlalu sejak hari itu, aku hidup dengan budeku, dengan dunia yang jungkir balik tentunya. Berbeda 360 derajat dari kehidupanku bersama keluargaku. Tapi tentu saja aku selalu bersyukur karena diperlakukan baik, hanya saja hatiku saat itu sudah rusak. Aku menjadi gadis yang tidak tau sopan santun dan kasar, bahkan meski bude sering memarahiku, aku tidak pernah menangis lagi. Aku sering mengabaikan beliau hingga suatu hari aku mendengar seseorang menelepon di seberang sana, aku yakin itu ibuku tapi aku tidak peduli.
Hingga saatnya tiba, entah itu sudah berapa bulan semenjak kelulusanku. Ibu datang untuk menjemputku, dia memelukku sambil menangis. Aku diam. Ibu meminta maaf karena datang terlambat, aku masih diam. Budheku mengelus pundak ibuku karena wajahku sungguh datar saat itu, aku juga tidak membalas pelukan ibuku sama sekali, tidak juga berbicara padanya. Tentu saja aku marah, janji itu bahkan ia ingkari. Aku terluka karena seseorang yang kusebut ibu itu sama sekali tidak menghawatirkanku saat aku terpuruk beberapa bulan lalu.
6 tahun kemudian, banyak yang berubah dan aku sangat bersyukur karena kedua orang tuaku sudah utuh dan kembali bersama. Sudah banyak yang kulewati, jatuh lalu bangkit, kemudian jatuh kembali, dan bangkit lagi. Sampai berulangkali hingga aku benar-benar tidak pernah menangis lagi dan menjadi wanita yang sepenuhnya berdiri tegak atas kesabaran.
Aku memang sudah memaafkan kedua orang tuaku, namun entah kenapa sampai sekarang hatiku masih saja retak.
Tentu, bekas luka itu masih ada dan aku tidak bisa menghapusnya. Hanya, sebatas yang aku tahu. Bahwa perempuan sepertiku pernah mengalami masa-masa sulit, tapi itu menjadi sebuah pelajaran. Memaafkan memang sulit, sungguh sulit, namun ada baiknya jika kita bisa mendengarkan apa alasan mereka yang memilih pergi dan meninggalkan. Karena saat dewasalah aku baru mengerti bagaimana mereka juga sulit bahkan mungkin melebihi rasa sulitku saat itu.
Satu dari pelarianku yang sangat berpengaruh, membuatku bangkit kembali dari keterpurukan yang selalu menyayat hati retakku, yaitu dengan selalu berdoa di dalam salat.
Berharap bahwa segala hal yang terjadi nanti, entah itu berupa kesulitan yang sama atau bahkan lebih parah dari kesulitan sebelumnya, aku bisa berdiri dengan tegap dengan penuh kesabaran untuk saling memaafkan dan dimaafkan setiap harinya. Ini bukan soal menutup buku tahunan saat bulan Ramadan lalu meminta maaf di setiap tahunnya, namun memaafkan dan dimaafkan harus dilakukan setiap hari, agar hati selalu utuh dan kembali fitri.
- Goresan Kelam Menuju Hijrah, Ketika Aku Hamil di Usia 16 Tahun
- Alami Kekerasan Fisik Saat Pacaran, Akhirnya Aku Memaafkan Diriku
- Allah SWT Menjawab Doaku, Aku Hamil Setelah 13 Tahun Menunggu
- Pada Akhirnya.. Kumaafkan Ayah yang Berselingkuh dan Menikah Lagi
- Pasrah Hilang Pekerjaan Karena Hamil, Allah Tunjukkan Jalan-Nya