Mengapa Penting Mengajarkan Sexual Consent Kepada Anak?

Fimela diperbarui 17 Jun 2017, 10:30 WIB

Tak seorang pun di dunia ini yang senang privasinya dilanggar. Apalagi dipaksa melakukan sesuatu di luar kehendaknya, yang mengakibatkan trauma berkepanjangan.

Seringkali kita beranggapan bahwa consent atau persetujuan terhadap suatu tindakan, hanyalah milik orang dewasa. Padahal, tahukah Mom, bahwa anak-anak juga memiliki hak untuk menyetujui atau pun menolak segala tindakan yang ditujukan padanya, terlebih tindakan fisik?

Seorang ibu bercerita. Pada suatu hari, ia mengajak putri kecilnya ke dokter untuk pemeriksaan rutin. Berbeda dengan dokter-dokter sebelumnya, dokter yang berjaga hari itu adalah seorang dokter pengganti yang masih muda, perempuan berusia sekitar 30 tahunan. Ketika masuk ke dalam ruangannya, dokter itu menjabat tangan sang ibu dan putri kecilnya.

Sebelum melakukan pemeriksaan, sang dokter mengajak bicara gadis kecil ini dan bertanya, "Boleh saya memeriksa detak jantung kamu?"

Pengalaman yang tak pernah dirasakan ini tentu sangat berkesan di hati sang ibu. Dokter tersebut seolah ingin berkomunikasi dengan putri kecilnya bahwa ia menghargai sang anak, begitu pula dengan tubuhnya yang disentuh oleh 'orang asing', walaupun itu untuk keperluan pemeriksaan kesehatan.

Seringkali kita melihat atau bahkan merasakan rasa tidak tega saat anak meronta-ronta ketika diperiksa di dokter atau rumah sakit. Walaupun tujuannya untuk keperluan pemeriksaan kesehatan, namun tanpa disadari sang anak dipaksa untuk menuruti dokter dan orang tuanya sehingga berujung rasa trauma anak pada dokter, rumah sakit dan terlebih dirinya sendiri.

Sayangnya, masih banyak dokter, perawat bahkan orang tua menganggap bahwa anak-anak memang harus diperlakukan seperti itu supaya menurut. Tanpa berusaha melakukan pendekatan dan penjelasan, mengapa mereka harus disuntik, seperti apa rasanya disuntik, mengapa tubuh mereka disentuh oleh orang asing (dokter dan perawat)?



Mengapa penting mengajarkan sexual consent kepada anak-anak?

Setiap orang tua ingin anaknya bertumbuh menjadi sosok yang percaya diri, nyaman dengan dirinya dan terutama mampu menjaga dirinya sendiri hingga dewasa kelak.

Setiap anak pun, sudah selayaknya tumbuh dengan membawa pengertian dalam dirinya, bahwa tubuhnya penting. Tak boleh seorang pun boleh melanggar kenyamanan tubuhnya, apalagi jika itu disentuh dan dipaksa oleh orang lain. Tugas para orang tua untuk mengajarkan soal batasan (boundaries) tentang apa dan siapa yang boleh menyentuh bagian tubuh sang anak.

Bagaimana cara melatih anak soal sexual consent ini?

Membiasakan anak soal consent

Membiasakan anak soal consent, apalagi untuk anak yang masih kecil (balita) tentunya tak mudah. Tetapi bisa dilatih. Salah satunya adalah dengan membiasakan anak membicarakan soal consent dalam lingkup yang sederhana, misalnya melalui pertanyaan, "Apa Mama boleh memeluk kamu?" atau "Mama mau memandikan kamu, apa Mama boleh membuka bajumu?"

Ajarkan mereka soal "tidak"

Banyak anak yang merasa takut mengatakan "tidak" karena mereka akan dibentak jika tidak menuruti kata orang tuanya. Padahal, "tidak" juga tak kalah penting dengan "ya", apalagi untuk masalah consent. Untuk anak-anak yang lebih besar dan menjelang remaja, mereka telah memiliki ruang personalnya sendiri. Hormatilah jika mereka tidak ingin dipeluk dan dicium seperti saat mereka masih balita dahulu.

Berikan pengertian pada mereka jika mengatakan "tidak" pun bukan masalah besar. Mereka bisa tetap mengungkapkan rasa sayang dengan lambaian tangan, tak harus melalui pelukan dengan orang lain.

"Ya" bisa menjadi "tidak"

Ajarkan pada anak bahwa "ya" bisa menjadi "tidak" setiap saat mereka merasa tidak nyaman. Mereka tak perlu ragu mengubah keputusan untuk menolak perlakuan orang lain yang awalnya nyaman, jika akhirnya orang lain menimbulkan perasaan risih pada mereka.

Pahami sebelum memutuskan

Tak bisa dipungkiri, saat ini banyak kejadian-kejadian pelecehan seksual yang menimpa anak-anak kecil, bahkan di tempat-tempat yang dirasa aman. Sekolah, misalnya. Jika anak Mom mulai menunjukkan gelagat enggan ke sekolah atau melakukan perlawanan saat ke sekolah, tanyakan pada mereka, apakah ada orang lain (orang dewasa atau temannya sendiri) yang membuat mereka takut? Apakah ada orang lain yang membuatnya tidak nyaman, malu dan risih?

Pahami kondisinya. Saat anak ngambek tidak mau ke sekolah atau ke tempat les, tentu ada hal-hal lain yang mengganggunya. Pahami bahwa mereka punya consent untuk berpendapat dan memutuskan apa yang membuat mereka nyaman.

Hormati mereka, seperti layaknya kita ingin dihormati

Anak-anak kita memiliki tubuhnya, pikirannya, perasaan, opini dan mimpinya sendiri. Seperti kita orang dewasa, anak-anak juga ingin didengarkan, dihormati dan dihargai. Jadi, tanyakan pendapat dan perasaan anak seseirang mungkin. Lihatlah mata mereka saat bicara dan jangan merendahkan mereka dengan anggapan, "Kamu masih kecil, nggak tahu apa-apa. Udah nurut aja!"

Orang tua adalah guru pertama seorang anak dalam kehidupannya. Ibarat kanvas yang masih bersih, orang tua lah yang menggoreskan cat di atasnya. Tentunya tak ada orang tua yang ingin menggoreskan cat dengan asal-asalan bukan? :)

(vem/wnd)
What's On Fimela