Punya Tetangga Menyebalkan, Dari Ibu Aku Belajar Memaafkannya

Fimela diperbarui 13 Jun 2017, 15:48 WIB

Tidak semua orang diberi rejeki tetangga baik, kadang kesabaran harus terlatih oleh tetangga yang mengusik hati. Kisah ini dialami oleh sahabat kami, N. D. W. sebagai bagian dari Lomba Menulis Kisah Ramadan 2017.

***

Aku lahir di keluarga yang ‘berkecukupan’. Iya, semua ‘cukup’. Aku bisa makan setiap hari meski seadanya. Keluargaku juga memiliki sebuah rumah, meski kecil dengan bentuk sederhana dan dari kayu. Aku tinggal bersama kedua orang tua dan dua orang saudara kandung. Bagiku, yang aku miliki saat ini sudah membuat hidup ku berkecukupan.

Keluargaku memang sering dipandang enteng, mungkin karena keadaan ekonomi yang kedua orang tua ku miliki saat ini. Terutama oleh tetangga yang rumahnya di samping kanan rumahku. Rumahnya begitu mewah dan rumahku tidak ada apa-apanya dibandingkan rumahnya. Aku menghormati Mak Epi, itulah nama panggilan tetanggaku. Mak Epi memang masih ada ikatan keluarga dengan ayah, karena itu aku begitu menghormati dan segan kepadanya.

Ibu pernah bercerita bahwa saat aku lahir, Mak Epi yang sibuk mencari nama untukku. Beliau juga selalu menimangku dan sering membelikanku baju. Entah cerita itu benar atau tidak, setiap Ibu bercerita aku selalu diam dan bermenung. Jika Mak Epi seperti itu dulunya, kenapa sekarang ia bersikap begini terhadap keluargaku? Aku ingin bertanya ke Ibu, hanya saja mulutku selalu terkunci, takut Ibu menjadi sedih karenanya.

 

Mak Epi bekerja sebagai penjual sayur dan lauk-pauk. Sering Ibu diberinya sayur atau pun ikan secara gratis. Hanya saja pemberiannya itu sisa dari jualannya yang tidak laku. Pernah suatu hari, Ibu membeli ikan patin kepadanya. Karena bagi aku dan abangku, ikan patin adalah lauk yang paling enak dimakan, kami begitu menyukai ikan patin goreng. Saat itu Ibu membeli bukan meminta, tapi saat sampai di rumah, ibu mendapati ikan patinnya ternyata busuk. Memang sering kali Mak Epi memberikan sayur atau ikan yang busuk. Tapi saat itu, yang membuat Ibu meneteskan air mata adalah.. Ibu membeli bukan meminta.

Kejadian itu sering terjadi. Hingga Ibu lelah dengan perlakuan Mak Epi dan akhirnya tidak pernah belanja di sana lagi. Hati ku tersayat, perih rasanya, tidak pernah keluarga ku menyusahkan keluarga Mak Epi, tetapi mengapa kami diperlakukan seperti itu?

Banyak orang menjudge Ayah dan Ibuku karena keadaan ekonomi. Hingga Ibu berpesan padaku, agar aku bisa sekolah dengan baik dan menjadi orang sukses nantinya. Tidak untuk balas dendam, tetapi agar keluargaku tidak dipandang enteng lagi. Kukunci pesan Ibu di dalam hati. Sekian lama Ibu menjaga jarak dengan Mak Epi, hingga aku pun ikut tidak tegur sapa dengannya.

Beberapa waktu sebelum Bulan Ramadan, banyak keluarga yang mengadakan pesta pernikahan. Termasuk salah satu anak Mak Epi. Mak Epi tiba-tiba datang ke rumahku dan meminta Ibu untuk membantu memasak sebelum acara pernikahan dilaksanakan esoknya. Ibuku adalah malaikat, dengan senyum ramah, Ibu ku meng’iya’kan permintaan Mak Epi. Sejak itu, keluargaku kembali tegur sapa dengan Mak Epi. Namun, sikap Mak Epi masih sama seperti yang dulu, tapi Ibu selalu mengingatkan aku agar tidak menjaga jarak lagi apalagi sampai memutuskan tali silaturahim.

Aku bahagia memiliki semua yang serba berkecukupan. Meski untuk makan saja seadanya, tapi aku dan dua saudara kandungku tetap disekolahkan oleh orang tuaku. Dan kini, aku dan Abangku sudah duduk di bangku kuliah. Dalam hati dan pikiran, aku bertekad untuk mengubah pandangan mereka yang selalu menjudge keluarga ku dan tidak akan bersikap seperti mereka dengan pencapaian ku kelak. Ya, sebentar lagi.

(vem/yel)