Hanya wanita dengan hati besar yang bisa memaafkan mantan suami yang pernah selingkuh di depan mata. Kisah ini dikirim oleh salah satu sahabat Vemale, dan merupakan bagian dari Lomba Menulis Kisah Ramadan 2017.
***
Saya ingin berbagi kisah yang amat perih, yang menimpa perjalanan hidup saya. Sebuah peristiwa yang pada awalnya saya anggap menyakitkan namun kemudian saya menyadari bahwa hal itu memberi hikmah yang luar biasa.
Peristiwa penuh air mata itu berawal ketika saya kembali ke kota perantauan, Yogyakarta. Selama ini saya mengikuti suami tinggal di tanah kelahirannya tersebut. Setahun sekali saya mudik ke Jawa Barat untuk bertemu kedua orang tua. Saat saya mudik, kedua orang tua saya yang sudah sepuh tiba-tiba sakit. Hal tersebut membuat saya tinggal lebih lama di kampung halaman. Akhirnya suami berinisiatif untuk balik dulu ke Yogyakarta karena ada pekerjaan yang belum di selesaikan. Apabila orang tua saya telah sembuh, dia akan menjemput saya untuk kembali ke kota gudeg tersebut.
Dengan seizin suami, selama tujuh bulan saya merawat orang tua di Jawa Barat hingga mereka sembuh. Bukan saya menomor duakan suami, tetapi tidak ada pilihan lain karena saya adalah anak tunggal. Tapi sekali lagi, izin suamilah yang membuat saya berani berjauhan dengannya untuk waktu selama itu. Jujur, selama berjauhan dengannya tidak ada hal yang mencurigakan. Semuanya berjalan wajar seperti biasa.
Suami Selingkuh di Depan Mata Saya Tanpa Malu
Setelah suami menjemput saya kembali ke Yogyakarta, satu peristiwa yang tak pernah disangka-sangka terjadi. Suami saya ketahuan berselingkuh dengan mantan pacarnya. Hampir setiap hari mereka mengumbar kata-kata mesra di depan saya tanpa rasa malu sedikit pun. Berulang kali saya mengingatkan bahwa apa yang mereka lakukan adalah salah. Tapi semakin saya mengingatkan, semakin menggila saja kelakuan mereka.
Saya terus bertahan walaupun hati saya sudah hancur. Alasan saya bertahan tak lain adalah karena anak semata wayang saya yang baru berusia satu tahun. Saya pikir pada usia seperti itu, figur ayah dan ibu sangat diperlukan. Anak sekecil itu membutuhkan kehadiran ayah dan ibunya pada saat bersamaan, bukan orang tua yang bercerai berai.
Pada saat terpuruk seperti itu tiba-tiba ujian lain datang. Adik ipar rupanya tidak senang dengan kehadiran saya di keluarga besarnya itu. Alasannya sederhana, karena mertua saya sering memberi uang jajan dan makanan kepada anak saya. Memang sebelum anak saya lahir, anak dari adik ipar saya itu menjadi cucu yang paling disayang. Tapi setelah saya punya anak, perhatian bapak mertua menjadi terbagi. Rupanya hal itu menimbulkan kecemburuan di hati adik ipar saya.
Kecemburuan itu memuncak menjadi kemarahan pada satu kejadian yang amat sepele. Dan pada saat itu saya memahami bahwa adik ipar menginginkan saya menjauh dari bapaknya (mertua saya). Kasarnya, adik ipar menginginkan saya keluar dari rumah mertua. Memang selama ini saya tinggal di rumah mertua karena bapak mertua yang minta. Terlebih bapak mertua sudah sepuh dan hidup sendiri tanpa istri. Sedangkan adik ipar tinggal di kampung suaminya yang masih berdekatan dengan rumah mertua.
Setegar apapun kaki berdiri, jika luka telah tertanam di dalam syaraf dan daging, pada satu waktu manusia akhirnya tumbang.
Begitupun saya, akhirnya saya menyerah! Saya meminta cerai, karena saya pikir itu adalah jalan yang paling baik. Rupanya gayung pun bersambut, suami menyetujui dan mengatakan kalau dia sudah tak cinta. Sebenarnya saya menangis mendengar hal itu, tapi di sisi lain saya bahagia karena akan terlepas dari satu belenggu. Namun di kemudian hari, belenggu itu bukannya berkurang melainkan bertambah. Suami menggantung status saya dan tidak mengurus cerainya. Hampir dua tahun dia melakukan hal itu.
Terpaksa Kubongkar Perselingkuhan Suami Kepada Orang Tua
Karena status saya yang belum resmi mengantongi surat cerai, akhirnya langkah saya untuk memulai hidup baru dengan pria lain terhambat. Saya merasa kesal karena merasa dipermainkan. Hampir tiap hari saya mengemis agar dia segera mengurus cerainya ke Pengadilan Agama. Dan pada satu waktu dia berkata bahwa dia tak berniat menceraikan saya. Sementara di sisi lain dia masih menjalani kisah terlarangnya dengan wanita lain.
Saya pikir ini adalah sikap egois yang tak perlu ditoleransi. Akhirnya, saya meminta bantuan kepada orang tua agar suami mau menjatuhkan gugatannya. Meskipun akhirnya saya harus rela membuka rahasia perselingkuhan suami yang selama ini saya sembunyikan. Dan benar saja, mengetahui hal itu membuat orang tua saya shock. Tapi apa mau dikata hal itu terpaksa saya lakukan.
Setelah perbincangan yang cukup alot, akhirnya suami pun bersedia mengurus cerainya. Saya pun kembali ke rumah orang tua dengan status single parent. Dan sebelum bulan Ramadan kemarin, tiba-tiba dia datang menelepon saya dan meminta maaf atas semua yang telah di perbuatannya dahulu. Sebagai manusia saya memang masih menyimpan rasa sakit yang seolah tak berkesudahan. Tapi kembali lagi kepada tuntunan agama bahwa memaafkan itu adalah perbuatan yang mulia. Saya pun perlahan-lahan membuka hati untuk memaafkannya. Membuka jalan silaturahmi dan melupakan kejadian di masa lampau adalah pilihan paling bijaksana.
Kini, kami saling mendoakan semoga jalan yang kami tempuh ke depannya sama-sama mendapatkan kebahagiaan meskipun dengan arah yang berbeda. Dan untuk mantan adik ipar saya, sekalipun secara lisan dia tidak pernah mengucapkan kata-kata maaf, tapi secara pribadi saya sudah memaafkannya. Bagaimanapun ikatan keluarga antara mantan adik ipar dan anak saya tidak akan pernah terputus sampai kapanpun. Mereka adalah saudara dari nasab yang sama.
(vem/yel)