Indonesia sebagai negara berkembang memiliki persoalan pelik mengenai kurangnya perhatian masyarakat akan sanitasi dan kebersihan. Dua hal tersebut sering kali mengakibatkan berbagai masalah kesehatan, salah satunya penyakit kecacingan yang dapat menginfeksi semua kalangan.
Prevalensi penyakit ini masih cukup tinggi yaitu sekitar 60-80% pada anak-anak Sekolah Dasar (SD) dan 40-60% untuk semua umur. Penyakit ini tidak dapat dianggap sepele karena dampak yang ditimbulkan kepada masyarakat cukup besar. Infeksi cacing mengakibatkan hilangnya zat gizi yang dibutuhkan oleh tubuh, penurunan daya imun, penghambatan perkembangan fisik dan mental, kemunduran intelektual pada anak-anak, dan penurunan produktivitas kerja.
Melihat hal tersebut, 4 mahasiswa Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Brawijaya (UB) melakukan penelitian tentang eksplorasi senyawa fitokimia tanaman hias daun miana yang dikembangkan menjadi teh herbal untuk mencegah penyakit kecacingan. Mereka adalah Inmas Putri, Della P Arumsari, Savrida Nurahmi, dan Ica Raditia. Kegiatan ini didanai oleh Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) dalam ajang Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) 2017.
Mereka membuat teh celup daun miana yang diberi nama “MIANTEA”. Alasan mereka menyulap tanaman hias daun miana menjadi teh dalam penelitian ini adalah sebagai inovasi obat herbal menjadi minuman fungsional pencegah penyakit kecacingan.
Selain itu, ketersediaan daun miana di Malang Raya cukup melimpah dan memiliki harga yang terjangkau yaitu sekitar 2.000 – 5.000 tergantung ukuran polibag “Daun miana yang disebut juga sebagai iler atau ingler ini memiliki kandungan senyawa fenolik yang memiliki aktivitas anthelmintika yaitu kemampuan untuk menghambat pertumbuhan dan perkembangan cacing parasit yang ada dalam tubuh manusia.
Daun miana juga kaya akan antioksidan, flavonoid, tannin, dan saponin yang memiliki fungsi untuk mencegah penyakit-penyakit degeneratif seperti jantung koroner dan stroke,” ujar Inmas (18/5), selaku ketua pelaksana penelitian.
Sementara itu, dosen FTP Novita Wijayanti, STP., MP. mengemukakan bahwa ide pengembangan MIANTEA sebagai minuman fungsional anti kecacingan ini sangat kreatif karena dapat memberikan terobosan baru dalam upaya pencegahan dan pengobatan penyakit kecacingan serta dapat meningkatkan nilai ekonomis dari daun miana.
“Selama ini kita hanya mengetahui daun miana atau ingler sebagai tanaman hias. Pengobatan kecacingan secara tradisional biasanya hanya menggunakan air rebusan daun miana. Namun, secara sensori, air rebusan tersebut memiliki rasa yang pahit dan tidak disukai anak-anak padahal penderita kecacingan terbesar adalah anak-anak. Hal ini mendasari kami untuk berinovasi menghasilkan teh celup daun miana sebagai minuman fungsional anti kecacingan,” tutur Savrida.
Penelitian ini dilakukan selama tiga bulan yang meliputi proses produksi teh celup hingga pengujian kandungan senyawa fitokimia dan uji motilitas cacing. Hasil penelitian menunjukkan bahwa teh celup daun miana mengandung senyawa fenol cukup tinggi yang dapat menghambat tumbuh kembang cacing. “Pada uji motilitas yang diterapkan pada cacing pita (Taenia solium), teh celup daun miana terbukti dapat mengakibatkan cacing mengalami paralisis dan kematian dalam waktu 36-96 jam,” ungkap Della.
“Sejauh ini belum ada kendala yang cukup berarti pada pelaksanaan penelitian kami. Harapan kami adalah penelitian ini dapat memberikan manfaat dan menjadi sebuah solusi dalam upaya pencegahan penyakit kecacingan pada anak-anak,” pungkas Ica.