Kisah Pilu, Beban Mental Seorang Wanita Tak Bisa Hamil

Fimela diperbarui 13 Mei 2017, 10:00 WIB

Menikah tiga tahun, tapi belum juga diberi momongan. Hal seperti ini tentu banyak terjadi di sekitar kita. Jangankan tiga tahun, pasangan Surya Saputra dan Cynthia Lamusu bahkan harus menunggu delapan tahun untuk akhirnya menimang bayi kembar mereka. Jangan ditanya bagaimana perasaannya, karena kebahagiaan itu tentu tak bisa ditukar dengan apapun.

Kembali ke kisah pasangan yang sudah menikah tiga tahun, tapi belum juga mendapat anak. Kebetulan sang suami adalah salah satu sahabat Vemale yang mencurahkan kisah tentang istrinya. Sebut saja dia Rini, wanita kuat yang selalu sabar menghadapi pertanyaan dari keluarga dan orang-orang sekitarnya tentang anak. Tentu saja dia sudah ingin sekali bisa menggendong bayi, dan tentu saja dia sudah berusaha, melakukan berbagai cara untuk bisa mendapatkan anak.

Banyak pertanyaan dan terutama nasihat yang ditujukan kepadanya. Rini hanya menerimanya dengan senyum, menjawab pertanyaan dengan sabar, dan menanggapi nasihat-nasihat itu dengan terbuka. Namun apakah kita tahu bagaimana perasaan dia yang sebenarnya? Dalam kamarnya, dia menangis sendiri, merasa tertekan karena semua orang mempermasalahkan hal ini.

"Wah, kalau aku dulu ngelahirin normal. Berat bayiku 3,55 kilo, panjangnya 52 centimeter. Nggak ribet kok lahirannya," ungkap seorang ibu muda pertama.

"Wih! Gede banget ya anaknya. Aku waktu itu juga lancar dan nggak ribet lahirannya. Cuman anakku 2,8 kilo aja beratnya," ibu muda kedua menimpali.

"Alhamdulillah aku juga nggak ribet... Waktu lahiran anak-anak kucing di rumahku," Rini ikut nimbrung obrolan tentang kelahiran anak, tampak bercanda.

Menurut kamu, apa benar dia hanya bercanda dengan ungkapannya itu, ladies? Tentu saja tidak! Hatinya selalu tercabik-cabik mendengar percakapan semacam itu. Dia kembali menangis sendiri di dalam kamarnya, kecewa akan nasibnya yang memang masih belum dikaruniai anak hingga tiga tahun usia pernikahannya. Dia yang sabar pun, makin hari makin merasa tak berguna.

Keesokan paginya, sang suami sudah selesai mandi. Sarapan pun sudah tersaji rapi di atas meja makan. Ruangan kecil itu sungguh rapi dan selalu bersih. Karena waktu sudah menunjuk pukul 8, tanpa menunggu Rini, pria itu pun langsung makan roti bakar cokelat keju kesukaannya, dan lalu menandaskan segelas cokelat hangat yang takarannya selalu pas di lidahnya.

Beranjak ke beranda, sang suami masih belum melihat bayangan kekasih hatinya itu. Dia lalu menuju taman belakang, tempat di mana Rini selalu asyik menyemprot air atau menyiangi bunga-bunga yang mereka tanam. Tak nampak juga wanita itu di sana. Hanya ada secarik kertas di atas meja bundar kecil, di samping bangku tempat mereka biasa menghabiskan sore sambil ngeteh.

"Dear Abang Aldo,

Maafkan Rini yang hingga hari ini tak kunjung bisa memberikan keturunan untukmu. Maafkan Rini yang menjadi akar masalah dari olok-olokan keluarga dan teman-teman kita. Maafkan Rini yang tak berguna ini.

Sudah banyak cara Rini lakukan demi bisa mendapatkan buah hati, namun apa hasilnya? Nol belaka. Rini pun sudah lelah dengan gunjingan mereka. Rini merasa tak pantas menjadi pendamping hidup abang.

Abang... Rini sangat mencintai abang. Rini sayang sama abang, dan akan selalu begitu. Rini tahu, abang menginginkan buah hati untuk teman bermain saat weekend. Rini tahu, abang merindukan tawa anak kecil di rumah ini.

Rini pergi, abang. Di rumah orang tua abang, ibu sudah punya calon lain untuk abang. Abang tak perlu bingung menceraikan Rini. Rini rela dimadu kalau memang itu bikin abang bahagia setelah nanti punya anak.

Rini pergi, abang. Sebentar saja, untuk sedikit menenangkan pikiran. Supaya saat Rini kembali nanti, Rini sudah siap untuk kembali melayani abang, meski ada wanita lain dalam kehidupan keluarga kita.

Rini pergi, abang. Bukan untuk lari dari masalah. Hanya sekedar ingin sendiri sesaat, membangun kekuatan batin dan mental. Abang tahu, Rini pasti kembali.

Salam sayang,

Rini."

Sejak surat itu diterima Aldo, tak ada lagi sosok Rini yang punya peran penting di rumah itu. Di rumah yang selalu bersih, rapi, dan harum. Tak ada lagi sarapan dan makan malam yang tersaji manis di atas meja. Tak ada lagi lagu Michael Buble yang berkumandang mengundang badan untuk bergoyang, yang selalu diputar Rini di hari Minggu pagi. Tak ada lagi senyum manisnya.

Rini memang pulang. Tapi dia pulang berupa kenangan. Tubuh yang terbujur kaku, dikirim dari rumah sakit, beberapa jam setelah sebuah kecelakaan nahas menimpa bis yang ditumpangi Rini dari Yogyakarta menuju kota tempat Aldo menunggunya. Aldo yang sudah memutuskan untuk tak menerima saran dari ibunya. Aldo yang hanya ingin Rini, bukan wanita lain, meski tanpa buah hati.

(vem/dew)