Penyakit asma memang bisa terjadi pada siapa saja, termasuk anak-anak. Sebagai orangtua kita pun harus lebih teliti dalam memberikan pengobatan untuk meredakan gejala dan mencegah serangan asma. Tujuan pengobatan dilakukan agar anak dapat beraktivitas normal, tanpa gejala siang dan malam, dan memberikan obat yang minimal efek samping.
Ada dua jenis obat asma, yaitu obat untuk meredakan gejala (pereda/reliever) dan obat untuk mencegah serangan (pengendali/controller). Pemberian obat asma pada anak harus mengikuti tahapan-tahapan terapi asma.
Obat golongan Short acting beta agonist (SABA) adalah jenis obat pereda yang harus diberikan ketika serangan asma datang. Sedangkan obat pengendali, diberikan meskipun gejalanya sudah hilang karena perannya untuk mencegah serangan di masa yang akan datang.
Pengendali umumnya diberikan pada asma persisten, dan diberikan jangka panjang dalam hitungan bulan atau tahun. Pemberian dievaluasi berkala, dan jika pengendalian asma sudah tercapai dapat dilakukan penurunan dosis atau penambahan dosis jika asma belum terkendali.
dr. Suria Natatmaja, Medical Director MSD Indonesia, menjelaskan, sebagai perusahaan farmasi multinasional terkemuka MSD global terus melakukan inovasi, salah satunya obat-obatan asma khusus anak-anak.
“Kami sadar betapa sulitnya anak-anak penderita asma menggunakan obat hirup atau inhalansi. Oleh karena itu MSD melakukan inovasi dengan mengembangkan produk yang mudah digunakan, dalam bentuk tablet kunyah dan oral yang dilarutkan di minuman dan susu anak,” ungkapnya saat ditemui di Jakarta.
Obat yang dimaksud adalah antileukotrien reseptor antagonis (montelukast) yang merupakan pengendali asma dalam formula baru yang berfungsi sebagai anti inflamasi. Tidak seperti obat asma inhalasi (hirup), antileukotrien ini diberikan dalam bentuk minum yang tentu lebih praktis untuk anak. Bedasarkan Pedoman Nasional Asma Anak 2016, studi kilinik menunjukan antileukotrien reseptor antagonis ini memiliki kemanjuran yang bagus di mana dapat mengurangi gejala termasuk batuk, memperbaiki fungsi paru, mengurangi inflamasi jalan napas, dan eksaserbasi (perburukan asma).
Sayangnya, asma pada anak di Indonesia masih menyisakan masalah antara lain under-diagnosis, yaitu banyak penderita asma yang tidak didiagnosis dengan tepat sehingga tidak mendapatkan pengobatan yang tepat. Selain itu pemahaman dan kesadaran orangtua masih rendah terutama dalam menghindari pencetus dan dalam kepatuhan berobat.
dr. Lily mengingatkan bahwa asma seperti halnya penyakit tidak menular, juga menimbulkan beban biaya yang tidak sedikit, sehingga pencegahan sangat penting. “Salah satunya menghindari polusi udara seperti rokok. Masalahnya di Indonesia banyak usia anak yang mulai merokok,” jelas Lily.
Mengendalikan penyakit tidak menular termasuk asma pada anak dapat meningkatkan kualitas anak Indonesia. Melalui Gerakan Masyarakat Hidup Sehat (Germas) diharapkan upaya ini dapat dilaksanakan sejak dalam kandungan. Upaya promotif dan preventif harus terus digalakkan seperti melakukan aktivitas fisik, konsumsi buah dan sayur, tidak merokok, dan membersihkan lingkungan untuk pencegahan asma.