Wanita yang Terlalu Mandiri Bikin Laki-Laki Takut Menghampiri

Fimela diperbarui 02 Mei 2017, 16:04 WIB

Walaupun kata orang wanita mandiri itu menyeramkan, aku tetap memilih mandiri. Kisah ini diikutsertakan dalam Lomba Menulis: My Life, My Choice.

***

Tumbuh dengan sifat pemarah membuat saya mudah tersinggung dan sakit hati dengan mereka yang hobi meragukan saya. Kalau dipikir-pikir, jadi perempuan kadang suka (dibikin) serba salah, ya? Tergantung sama orang lain dibilang manja dan lemah. Giliran mau mandiri malah dibilang bersifat dingin, menjaga jarak, egois, dan nggak punya hati. Tuduhan favorit mereka lainnya? Nggak butuh laki-laki.

Sejak kecil, banyak figur perempuan kuat dan mandiri yang menginspirasi saya. Mulai dari almarhumah Eyang Putri, figur publik, kenalan, hingga karakter fiksi macam detektif Nancy Drew. Bayangan saya waktu itu? Tinggal sendirian itu enak. Bebas, nggak ada yang ngatur-ngatur kecuali dir sendiri. Jadi mandiri yang sejati. Sayangnya, perjalanan ke sana tidak secepat dan semulus yang saya inginkan. Waktu mau kuliah di luar kota, Mama keberatan. Waktu keterima kuliah di Depok dan ingin ngekos seperti teman-teman, Mama tidak mengizinkan.

Akibatnya, saya harus menempuh jarak yang cukup jauh dari rumah ke kampus. Selama tahun pertama, Mama bahkan ngotot mengantar dan menjemput saya. Niat beliau sih, baik. Tapi, akibatnya saya jadi malu. Teman-teman banyak yang menganggap saya anak manja. Benci sekali rasanya sama mereka yang langsung menghakimi demikian. Padahal, saya juga nggak pernah minta.

 

Tahun kedua, saya ngotot minta naik kendaraan umum sendiri. Mama tidak langsung mengizinkan, melainkan meminta seorang teman yang lebih berpengalaman mengajari saya. Memalukan memang, tapi waktu itu saya malas ribut dengan Mama. Keinginan saya untuk tinggal sendiri semakin kuat saat akhirnya mulai bekerja. Sempat tertunda karena Papa sakit stroke selama lima tahun. Ada rasa tidak tega.

Seminggu setelah Papa wafat, saya mendapatkan pekerjaan full-time di tempat yang jauh dari rumah. Keinginan saya untuk keluar rumah dan ngekos sendirian semakin menggebu-gebu. Apalagi, jalanan di Jakarta makin macet. Keharusan datang pagi dan pulang larut malam dengan setumpuk kerjaan membuat saya lelah dan mudah marah.

Lagi-lagi saya berdebat dengan Mama. Namun, kali ini saya enggan mengalah. Tekad saya sudah bulat. Kalau nggak sekarang, kapan lagi? Kalau nggak dicoba, bagaimana saya bisa tahu rasanya? Sekitar dua bulan lebih selepas pemakaman Papa, saya resmi pindah ke kosan perdana saya. Biar nggak tambah ribut, saya mengajak Mama ikut melihat-lihat. Untunglah beliau tidak keberatan.

Kini, sudah tiga tahun saya tinggal sendiri. Banyak suka-duka yang saya jalani. Mulai dari sakit parah dan harus mengurus diri sendiri, kekurangan uang hingga sempat kelaparan, hingga patah hati. Pernah juga kehilangan pekerjaan sehingga harus mencari lagi.

 

Sejauh ini, saya belum menyerah dan pulang lagi. Mungkin saya keras kepala, tapi saya sudah muak direndahkan orang lain dengan sebutan ‘anak manja’. Selama itu, banyak dukungan sekaligus keberatan dengan keputusan saya. Bahkan, ada yang nggak tanggung-tanggung terus berusaha mencampuri urusan saya melalui berbagai cercaan.

“Sebaiknya anak perempuan hanya baru keluar rumah kalau sudah ‘dibawa suami’.” (Baca: menikah.)

Dibawa? Padahal saya paling nggak suka disamakan dengan barang yang bisa dipindahkan. Masih bisa gerak sendiri, kok. Ada juga yang menganggap saya nggak punya hati, meninggalkan Mama sendiri. Padahal, di rumah masih ada kakak, suaminya, dan anak-anak mereka.

Lagipula, kalau mau bertemu tinggal bikin rencana dan nggak usah pakai drama. Hei, Mama nggak se-mellow yang kalian semua kira.

Sisanya lebih banyak ucapan parno dan menghakimi. Takut saya terjebak pergaulan bebas-lah, takut kenapa-kenapa. Astaga, usia saya sudah di atas 30. Lagipula, saya lebih memilih menulis dan memastikan gaji cukup untuk sebulan, serta berjuang mencari penghasilan tambahan. Memangnya perempuan selalu emosional dan jarang pakai otak, ya? Salah besar.

Banyak yang bisa saya pelajari dari tinggal sendirian. Selain berusaha menjaga kesehatan dan lebih berhati-hati memilih teman, saya juga berusaha hidup lebih hemat. Belanja seperlunya.

Saya juga jadi lebih menghargai bantuan dan kehadiran orang lain serta makanan. Ada sih, yang pernah menakut-nakuti dengan ucapan: “Terlalu mandiri, laki-laki takut menghampiri.” Justru, laki-laki yang begitu rendah diri malah tidak bisa membuat saya merasa aman. Menakutkan.

Ada yang pernah menganggap saya keras kepala dan berharap saya gagal. Mereka ingin saya menganggap bahwa selama ini mereka selalu benar tentang saya. Ya, kalau pun saya melakukan kesalahan, ini sama sekali tidak ada hubungannya sama prediksi mereka. Saya cukup ganti strategi dan mulai kembali.

Hidup saya adalah pilihan saya. Saya tidak menyesali keputusan ini. Kalau kalian keberatan, itu bukan masalah saya. Nggak perlu kasar dengan menyebut saya keras kepala dan malah dengan teganya mendoakan saya gagal. Untuk semua pihak yang telah mendukung saya selama ini, saya berutang terima kasih yang tidak terhingga. Kalian-lah pembangkit semangat saya saat saya jatuh dan nyaris menyerah.

(vem/yel)