Kamu Baik, Tampan & Mapan, Tetapi Aku Pilih Mengejar Impianku

Fimela diperbarui 02 Mei 2017, 14:01 WIB

Melepas ajakan menikah dari pria yang tampan, mapan dan baik bukan keputusan mudah, namun sebuah impian selalu layak untuk diperjuangkan. Kisah nyata ini adalah salah satu tulisan untuk Lomba Menulis: My Life, My Choice.

***

Menjadi istri dari lelaki yang mapan dan tampan adalah sebuah idaman. Itu merupakan salah satu dari sederet keinginan yang selalu aku pinta berulang-ulang. Akan tetapi, sebuah pernikahan tidak hanya berdasarkan harta dan fisik semata.

Masih ada sisa ingatan tiga tahun yang lalu saat ada laki-laki yang memenuhi kriteriaku mengajak untuk menikah. Hati siapa yang tak riang. Aku merasa menjadi wanita yang paling bahagia saat itu. Dia tinggi, putih, tampan, dan bekerja di sebuah perusahaan pelayaran. Aku dan dia sudah mengarungi berpacaran selama dua tahun sejak akhir kelas 1 SMA. Dan sebelum Ujian Nasional, dia menawarkan diri untuk mengajakku menikah. Orang tua kami sama tahu dan merestui hubungan kami.

Dia Laki-Laki yang Sempurna..

Dia empat tahun lebih tua dariku. Menjalani hubungan dengan dia penuh dengan kemewahan. Karena dia sudah mapan dan gajinya terbilang lebih dari cukup. Meski aku tidak meminta, dia sering membelikan barang-barang. Sungguh, bukan itu yang membuatku suka dengannya, tapi karena sikap baik lainnya yang membuatku menjatuhkan hati kepadanya.

Akan tetapi, ada satu hal yang membuatku berpikir beribu-ribu kali. Suatu pilihan yang akan menentukan masa depan. Dia melarang kuliah. Aku kecewa mendengarnya. Saat kutanya apa alasannya, dia bilang, aku adalah seorang wanita yang nantinya hanya menjadi ibu rumah tangga. Lalu, untuk apa ijazah yang akan kukejar selama empat tahun nanti? Dia juga cerita, tradisi di keluarganya seorang wanita hanya berdiam diri di rumah menjadi ibu rumah tangga.

Aku memang masih anak kelas 3 SMA, sangat belia saat itu. Tapi, tidak sedangkal itu pikiranku. Hanya karena dia sudah mapan, bukan berarti aku menyerahkan diri begitu saja. Sejak SMP aku adalah gadis yang besar dari sebuah organisasi. Banyak sekali tujuan-tujuan hidup yang ingin kucapai, bukan hanya sekadar menjadi ibu rumah tangga.

Impianku Untuk Kuliah Lebih Dari Sekedar Selembar Ijazah

Tidak ada yang buruk dari status ibu rumah tangga. Ibuku sendiri adalah ibu rumah tangga. Tapi yang tidak kusetujui adalah dia menganggap nilai pendidikan hanya pada selembar ijazah. Aku bangga sekali melihat seorang ibu rumah tangga yang bekerja keras mati-matian untuk merawat suami dan anak-anaknya. Rela bangun pagi dan tidur larut malam, bahkan harus terbangun berkali-kali saat anaknya rewel. Aku setuju, jika ada Hadist yang mengatakan bahwa peluh seorang istri yang mengurus suami dan anak-anaknya dinilai ibadah. Karena itu semua butuh niat dan kesabaran yang lebih.

Jika nanti aku diizinkan suamiku hanya menjadi ibu rumah tangga, aku rela. Tapi, aku tidak ingin dibatasi untuk mencari ilmu dan pengalaman. Aku tidak ingin dikekang untuk lebih banyak tahu tentang dunia luar. Ibu itu adalah sekolah pertama untuk anak-anaknya. Jadi aku ingin membekali diri untuk keluargaku nanti. Aku ingin mendidik anakku menjadi anak yang cerdas dan bermoral. Mendapat ilmu memang tidak selalu di bangku sekolah, tapi pendidikan formal itu penting. Bukan hanya tentang ijazah, tapi lebih ke peran pendidikan itu sendiri.

Aku mencintai laki-laki itu, sungguh, perasaanku sudah mengakar kepadanya. Tapi di sisi lain, aku diposisikan pada pilihan yang sangat berat. Berulang kali aku membujuknya agar mengizinkan aku kuliah. Aku rela jika harus menikah muda, asal diizinkan kuliah. Aku menjelaskan kepada dia, bahwa aku tidak ingin menjadi wanita karier. Aku hanya ingin sekali terjun ke kegiatan sosial untuk membantu masyarakat pinggiran dan memberdayakan para wanita agar tidak menjadi pengemis.

Tapi dia bilang, untuk apa melakukan kegiatan seperti itu, daripada nanti capek. Jawabannya begitu menusuk hati. Aku dongkol sekali. Kurasa, dia sudah tidak sepemikiran denganku. Sampai beberapa minggu aku dan dia berdebat panjang, akhirnya memang memilih adalah jalan terbaik. Akhirnya, aku memilih untuk melanjutkan kuliah.

Aku Melepasnya Demi Meraih Impian-Impianku

Dia mencoba meyakinkan, bahwa dengan gajinya, dia bisa mencukupi semua kebutuhanku dan anak-anak. Tapi sungguh, bukan materi yang hanya menjadi pertimbanganku. Tapi sebuah tujuan hidup, dimana aku mempunyai visi untuk bisa memberikan hidup yang manfaat untuk sekitarku. Dengan bujukan apa pun, aku tetap menolak.

Awalnya, banyak orang bertanya-tanya, kenapa aku tidak jadi menikah dengan laki-laki yang tampan dan mapan. Sakit memang menjadi desas-desus para tetangga, tapi kuabaikan. Yang lebih mengerti yang terbaik untuk diriku adalah aku sendiri. Tetangga hanyalah penonton. Saat aku menjelaskan kepada kedua orang tuaku, mereka begitu mendukung. Karena, orang tuaku sendiri juga ingin anak gadisnya sekolah lebih tinggi.

Beberapa bulan setelah putus denganku, dia menikah dengan wanita pilihan kedua orang tuanya dan aku telah diterima di salah satu PTN di Jawa Timur. Awalnya memang berat untuk menerima semua ini, tapi tekadku sudah bulat.

Sekarang, aku sudah bisa lepas dari perasaan kepadanya. Sama sekali tidak ada sisa-sisa cinta untuknya. Aku dan dia sudah mempunyai jalan hidup masing-masing. Aku sibuk dengan kegiatan kampus. Dan sampai detik ini, sama sekali tidak ada rasa menyesal karena telah menolaknya. Karena aku bahagia telah memilih jalan hidup yang kuinginkan. Sekarang, aku menjadi relawan yang membantu dan memperjuangkan orang-orang pinggiran yang belum tersentuh oleh ‘tangan’ pemerintah dan anak-anak pelosok yang membutuhkan uluran tangan untuk tetap menikmati manisnya bangku sekolah.

Aku bahagia dengan pilihanku. Hidup itu pilihan, dan setiap orang mempunyai alasan untuk pilihannya. Dengan tekad dan hati yang ikhlas, pasti apa pun yang berat akan menjadi ringan.

(vem/yel)