"Setelah melalui masa-masa yang penuh tekanan dari masyarakat, aku sadari bahwa tak semua kalimat mereka harus aku dengarkan,". Kisah ini adalah salah satu cerita yang diikutsertakan dalam Lomba Menulis: My Life, My Choice.
***
“I’ve found that growing up means being honest. About what I want. What I need. What i feel. Who I am.”
Satu hal yang sangat aku yakini dalam kehidupan ini adalah bahwa orang-orang yang mencintaimu lah yang akan menjadi kekuatan terbesarmu. Tanpanya, kamu bukan lah apa-apa, bahkan untuk sekedar memiliki kekuatan untuk bertahan. Juga tanpanya, kamu tidak akan pernah menjadi siapa-siapa.
Sebelumnya, kalian bisa memanggilku Ika. Aku masih seorang pelajar dan aku mengambil risiko besar dalam menuliskan kisahku ini; aku takut dikasihani—lebih tepatnya, aku membenci itu.
Sebagian besar wanita mungkin merasa masalah-masalah di kehidupan mereka berasal dari diri mereka sendiri. Terlalu gendut, kurus, kulit gelap, jerawat, tubuh yang pendek atau terlalu panjang adalah tipikal utama permasalahan kaum wanita. Tapi, masalahku sama sekali tidak berasal dari fisikku—jika aku boleh mengakuinya.
Aku dilahirkan sempurna—jika aku bisa mengatakannya begitu—dan dari keluarga yang aku rasa juga cukup sempurna. Aku mempunyai orang tua ramah yang memiliki banyak relasi dan juga mapan, serta dikelilingi oleh orang-orang yang akan memenuhi segala keinginanku. Aku merasa lengkap.
Namun, tentu saja, kebahagiaan tidak pernah menjadi tempat pemberhentian kisah. Roda berputar dan segalanya dibalikkan. Ibuku meninggal karena melahirkan, ayahku depresi hingga puncaknya ia menjadi stroke, nenek dan kakekku juga meninggal, adikku yang baru lahir diambil oleh kakak ibuku, keluargaku terlilit hutang. Serta merta orang-orang langsung mengalihkan pandangannya ke bawah. Kini, orang-orang yang dulunya menghargai kami justru merendahkan kami.
Keraguan, direndahkan, dikucilkan, inilah cobaan yang diberikan Tuhan
Dikucilkan maupun direndahkan adalah masalah yang selalu aku hadapi setiap harinya. Hal biasa yang nyatanya mampu memberikan efek psikologis luar biasa dalam kehidupanku. Aku jadi kurang bisa berinteraksi dan berbaur dengan kehidupan sosial di sekitarku. Mereka mengatakan aku terlalu kaku, tidak bisa diajak bercanda, dan yang paling penting: tidak bisa mengendalikan emosiku.
Apapun yang aku lakukan pasti jadi perbincangan. Mereka selalu menghalang-halangiku untuk melakukan sesuatu yang aku sukai, sesuatu yang ingin aku capai. Bagi mereka, aku tidak pantas untuk itu. Padahal, aku tahu bahwa mereka hanya takut jika aku bersinar lebih terang daripada mereka.
“Kamu mau ikut modelling? Nanti perginya sama siapa?”
“Mau jadi dokter? Uangnya darimana?”
“Udahlah gak usah sok-sokan pakai bahasa inggris. Bahasa daerah sendiri aja belum bisa!”
“Bawa kendaraan sendiri aja ga bisa, dasar teman gak berguna,”
Mereka meragukanku karena kekuranganku, nyatanya mereka sama sekali tak mau memandang kelebihanku. Aku akui, aku bodoh dalam mengurus diri sendiri, aku gegabah dalam bertindak, aku tidak memiliki orang tua yang mampu memenuhi tuntutan sosial masyarakat di sekitarku, tapi aku pikir: itu tidak menjadi tolak ukur akan nilaiku sebagai seorang manusia yang juga pantas untuk dihargai.
Aku sempat merasa frustasi dan stres selama beberapa waktu. Aku bahkan sempat memaki Tuhan—sesuatu yang sangat tidak pantas untuk dilakukan. Aku muak kenapa aku selalu dikucilkan. Aku benci karena direndahkan. Aku benci karena impianku selalu diragukan. Aku merasa rendah diri karena tidak ada satu orang pun yang peduli.
Datangnya malaikat pengganti
Sampai pada akhirnya, kehidupanku berangsur-angsur mulai membaik. Ayahku bangkit kembali setelah menikah lagi. Dia seorang wanita yang sabar dan berhati lembut. Aku tahu, banyak stereotype yang mengatakan bahwa ibu tiri itu kejam, tapi dalam kehidupanku, istilah itu tidak berlaku. Meskipun aku tahu bahwa ia tidak mungkin bisa mencintaiku layaknya ibu kandungku sendiri, setidaknya setelah sekian lama hidupku akan tertata kembali.
Lalu, seiring bertambahnya usia, aku sadar bahwa kemarahanku tidak akan membawa perubahan besar dalam hidupku. Orang-orang itu masih akan tetap memandangku rendah, dan kebencian itu hanya akan menyiksa diriku sendiri, bukan mereka. Aku memutuskan untuk tidak lagi mempedulikan ucapan-ucapan mereka yang merendahkanku, aku bertekad untuk mengasah bakatku dan belajar sekeras mungkin agar suatu saat aku dapat membangun kembali puing-puing kejayaan keluargaku sehingga tidak ada lagi yang berani untuk merendahkan kami.
Karena aku percaya, bahwa segala impian dan mimpi-mimpiku adalah kehidupan masa depan yang sedang aku saksikan sekarang. Meskipun pada akhirnya belum tentu kujalani, setidaknya aku tidak perlu hidup di jalan yang dipilih oleh orang lain.
(vem/yel)