Kartini, Poligami, dan Sepenggal Kisahnya yang Mengiris Hati

Fimela diperbarui 21 Apr 2017, 10:50 WIB

Nama Raden Ajeng Kartini jelas sudah sangat familiar di telinga masyarakat Indonesia. Wanita yang lahir pada tanggal 21 April 1879 di Jepara, Jawa Tengah ini memiliki kisah yang menginspirasi sekaligus mengharukan. Terlahir sebagai seorang anak bupati, hidupnya tak selalu dipenuhi kebahagiaan.

Di balik sosoknya yang dikenal sangat berpengaruh terkait dengan memperjuangkan hak-hak perempuan, ada sepenggal kisahnya yang mengiris hati. Dalam hidupnya, Kartini tidak asing dengan kehidupan keluarga poligami. Ia sendiri merupakan putri dari Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat dan M.A. Ngasirah. Sang ibu, M.A. Ngasirah ini bukanlah satu-satunya istri sang ayah. Karena ayah Kartini kemudian menikah lagi dengan Raden Ajeng Woerjan yang berdarah biru.

Kartini memiliki sikap sendiri terkait poligami. Ia menentang soal poligami karena menurutnya sejumlah adat yang terlibat di dalamnya dianggap menyiksa dan merugikan perempuan. Selain soal poligami, Kartini juga punya sikap soal gelar bangsawannya. Dirinya tak merasa bangga dengan gelar bangsawannya dan membebaskan adik-adiknya untuk memanggilnya cukup dengan sebutan nama, tanpa Raden Ajeng, cukup Kartini.



Meski Kartini sendiri menentang poligami, pada akhirnya ia harus menerima kenyataan saat dinikahkan dengan seorang Bupati Rembang bernama Adipati Djojoadiningrat. Pada masa itu, usia 24 tahun dianggap perawan tua jika tidak segera menikah. Dan atas nama kecintaan dan baktinya pada sang ayah, Kartini menerima pernikahan tersebut. Tapi ia mengajukan syarat.

Kartini mengajukan sejumlah syarat agar mau dinikahi Adipati Djojoadiningrat yang saat itu sudah punya tiga istri. Kartini tak mau melakukan prosesi adat berjalan jongkok, berlutut, dan menyembah kaki suami. Selain itu, Kartini juga ingin dibuatkan sekolah serta mengajar di Rembang. Dalam keseharian, Kartini menghendaki berkomunikasi dengan bahasa Jawa. Dengan terpenuhinya syarat-syarat tersebut, Kartini pun akhirnya menjadi istri keempat Adipati Djojoadiningrat.

Namun, sungguh sayang Kartini tidak ditakdirkan berumur panjang. Ia tutup usia pada tanggal 17 September 1904 setelah melahirkan putranya yang diberi nama Soesalit Djojoadhiningrat pada tanggal 13 September 1904. Meski begitu, semangat perjuangannya masih tetap terasa hingga saat ini. Tanggal kelahirannya, 21 April pun ditetapkan sebagai Hari Kartini yang selalu diperingati setiap tahunnya.




(vem/nda)