Di masa semua orang berfokus pada penampilan luar seseorang, aku memilih untuk berdamai dengan ketidaksempurnaan kulitku. Sebuah kisah nyata dari sahabat Vemale untuk Lomba Menulis: My Life, My Choice.
***
“Ih itu kenapa tangan sama mukanya?”
“Jijik ih kayak nggak keurus gitu.”
“Itu apaan? Panu ya?”
“Kenapa sih itu? Nular nggak? Bahaya nggak?”
Sederet pertanyaan itu sering kali terngiang di telinga, bahkan sampai membekas di hati. Pernah juga saya hampir malas untuk menjalani hidup karena “anugerah” ini. Perkenalkan, nama saya Bella, remaja 20 tahun yang memilih hidup bersama vitiligo.
Sedikit informasi, vitiligo adalah keadaan dimana muncul bercak-bercak putih di beberapa bagian tubuh karena sel-sel yang membentuk melanin tidak mampu menjalankan fungsinya untuk memproduksi warna kulit. Analisa penyebabnya masih belum jelas dalam dunia medis, namun dalam kasus Saya hal ini disebabkan karena autoimun, kegagalan fungsi pada sistem kekebalan tubuh. Saya punya bercak ini di wajah, tangan dan kaki. Berbagai macam pengobatan sudah dijejali tapi nihil. Sempat hilang beberapa spot tapi hanya bertahan 1 tahun saja, dan kemudian muncul lagi dengan ukuran yang lebih besar dan lebih banyak.
6 tahun hidup dalam ketidaksempurnaan fisik bukanlah hal yang mudah. Ejekan dan cercaan selalu mengiringi perjalanan ini, tidak jarang pula saya memilih untuk menarik diri dari pergaulan karena malu. Tekanan batin yang terus bergejolak perlahan mulai menghancurkan saya dari dalam, meruntuhkan rasa percaya diri. Hidup beriringan dengan rasa takut yang tidak jelas ujungnya, takut tidak ada yang mau berteman dengan saya, takut menjadi tontonan di tengah kerumunan, takut tidak ada perusahaan yang mau mempekerjakan perempuan seperti saya dan yang paling saya takutkan waktu itu adalah, takut tidak ada yang mau jadi pendamping hidup saya. Saya dibunuh. Saya dibunuh oleh ketakutan yang saya buat sendiri.
Sampai akhirnya saya menonton acara audisi top model dunia yang mana salah satu pesertanya mengidap vitiligo juga. Saya terinspirasi dan membuka pikiran lebar-lebar. Mulai mendekatkan diri dengan Tuhan dan menerima bahwa tubuh ini adalah salah satu nikmat terindah yang Ia ciptakan. Saya memutuskan untuk berhenti teraphy yang tiada hasilnya dan mulai menerima diri saya sendiri, berhenti membanding bandingkan diri dengan orang lain. Ocehan-ocehan kasar saya tetap saya terima tapi kali ini, tidak saya perdebatkan dengan batin.
Saya sekarang bangga karena mampu dan berhasil melewati fase keterpurukan itu. Memilih berdamai dengan vitiligo dan menjalani hidup tanpa rasa malu karena bercak ini lagi. Dukungan dari Ibu, keluarga serta teman teman terdekat berperan penting dalam perubahan ini.
Tuhan menciptakan manusia dengan kelebihan dan kekurangan masing-masing. Dengan keunikan masing-masing, semua punya keistimewaan tapi banyak yang telat mensyukurinya. Kita memang lahir tanpa bisa memilih fisiknya akan seperti apa, dari keluarga mana kita tinggal dan siapa pasangannya nanti, tapi Tuhan juga selalu menyelipkan hikmah dibalik semua itu.
Bersyukurlah dengan apa yang ada pada diri kita. Berhenti mencoba terlihat seperti orang lain dan berhenti memaki keadaan. Percayalah, rezeki tidak pernah tertukar dan jodoh tidak pernah salah orang. Bersyukur pada semua hal bahkan dari hal yang paling kecil, jalani hidup dengan perasaan damai.
Badai pasti datang tapi yakinlah kita lebih kuat dari badai itu sendiri.
(vem/yel)