Kutinggalkan Bandung, Aku Bahagia Bekerja di Pulau Terpencil Ini

Fimela diperbarui 10 Apr 2017, 14:30 WIB

Tinggal di kota besar memang enak. Tetapi semua kemudahan dan kenyamanan itu rela ditinggalkan demi bekerja di sebuah pulau kecil. Inilah kisah salah satu sahabat Vemale untuk Lomba Menulis: My Life, My Choice.

***

Tiba-tiba tawaran itu datang seiring dengan keinginanku untuk keluar dari Kota Kembang beberapa tahun lalu. Tawaran sebuah pekerjaan di lepas pantai yang sangat berbeda dengan pekerjaanku saat di Bandung. Jika aku pindah, artinya cita-citaku untuk menetap di sebuah pulau kecil sejak bertahun-tahun lalu tercapai. Impian yang sejak 5 tahun lalu aku tulis di buku harianku akan segera jadi kenyataan.

Orang tuaku shock bukan kepalang setelah mengetahui aku akan mendapatkan pekerjaan disana. Ya aku akan pindah ke Tanjung Balai Karimun, sebuah pulau kecil di Sumatra yang terkenal dengan human trafficking. “Tidak ada pekerjaan lain yang lebih baik, kak?” ujar ayahku saat itu. “ Memangnya pekerjaan jadi HRD tidak baik?” tanyaku. Orang tua memintaku pulang ke rumah dan mencari pekerjaan di tanah kelahiranku saat itu. Adu argumen dengan orang tuaku saat itupun tak ter-elakkan.

Kejutan lainnya datang dari sahabatku “Yakin akan pindah ke sana? Setelah aku googling tadi, kok aku jadi khawatir sama kamu, ya aku tau kamu supel dan mandiri, tapi human trafficking nya itu loh”. Aku hanya menjawab “100 persen aku yakin, doakan saja yang terbaik ya”.

Setelah memutuskan mengundurkan diri dari kantorku, kurang dari dua minggu aku pindah dari Bandung ke Tanjung Balai Karimun. Di kota ini tidak mall, tidak ada bioskop, listrik dan air tersedia dalam jumlah terbatas. Jika malam tiba, tempat tinggalku tentu saja harus menggunakan genset agar listrik tetap menyala. Ketika air habis, beberapa kali aku mandi menggunakan air kemasan galon sembari bersyukur alhamdulilah ke kantor masih bisa mandi. Jika BBM langka, diperlukan waktu 2- 3 jam mengantri di SPBU demi 10 Liter bensin kendaraan roda empat. Jika membeli eceran, kita harus mengeluarkan Rp 40.000 – 50.000 untuk 1 liter bensin.

Urusan pekerjaan tak kalah pentingnya, beradaptasi dengan cepat harus aku lakukan di kantor yang jaraknya 35 Km dari tempat tinggalku. Jadi sehari aku menghabiskan kurang lebih 70 Km untuk pulang pergi menuju lokasi kerja. Belum lagi deadline pekerjaan, dan adaptasi pekerjaan yang menuntut untuk cermat, cerdas dan dedikasi yang tinggi.

Semua aku jalani dengan senang hati? Kenapa? Pindah ke pulau ini adalah pilihan terbaik dalam hidupku saat itu, sehingga apapun risiko adalah pelajaran yang aku lalui agar tetap bersyukur padaNya. Aku menikmati akhir pekan di pantai-pantai yang mengelilingi pulau, menikmati berbelanja di supermarket lokal yang selalu ramai dengan aksen Melayu yang kental, menikmati tidak berkunjung ke bioskop selama setahun, hingga aku sangat senang berinteraksi dengan teman-teman warga asli Tanjung Balai Karimun.

Aku bahagia tinggal di Tanjung Balai Karimun, dari yang tidak mengenal siapapun, aku menambah daftar sahabat dan keluarga baru di sana. Satu yang aku bangga adalah tidak ada kekerasan, dan human trafficking yang selama ini ditakutkan banyak orang di tempat ini. Warga Tanjung Balai Karimun memiliki sifat ramah, dan kekeluargaan. Itulah sekolah hidupku yang sebenarnya.

(vem/yel)