Oh Janda, Oh Duda.
“Nikahkan saja mereka segera, kenapa harus ada komunitas-komunitas pemberdayaan janda dan duda segala? Mau melajang selamanya?”
Demikian sebuah pertanyaan bernada mempertanyakan niat dalam berkomunitas sekelompok janda dan duda sejak di awal-awal pendiriannya.
“Sudahlah, bikin saja biro jodoh duda dan janda saja, tanpa embel-embel tujuan lainnya.” Baiklah jika demikian. Lebih baik diam jika pertanyaan hanya mempertanyakan, karena mereka yang bertanya butuh jawaban sedang yang mempertanyakan hanya butuh persetujuan atau pengakuan yang kadang tanpa syarat ataupun penyangkalan.
Ada sebuah kisah dalam kehidupan nyata. Seorang janda muda, belum juga 25 tahun usianya, anaknya 2 masih balita. Gamang karena ingin rasanya segera mengakhiri status jandanya yang selama ini memang dianggap sebagai status yang rawan dengan godaan, cobaan, bahkan stigma.
“Oh, saya janda beranak dua.” Rasa jengah saat harus mengakui status jandanya di depan orang lain, atau saat ditanya oleh seseorang yang menaruh simpati atau sekadar perhatian darinya adalah "ritual" keseharian yang harus dijalaninya. Kemudian berbagai ragam tanggapan pun bermunculan setelah mendengar "pengakuannya" ini, yang sebagian besar membuatnya ternyata malah merasa lebih jengah lagi.
Dan jengahnya akan menjadi kekalutan, semakin kalut dan galau serta berujung pada kenekatan untuk segera mengakhiri masa menjandanya. Tapi, setiap kali datang seorang laki–laki yang menyatakan diri hendak mengawininya, bukan rasa lega dan "nah ini!" yang muncul, namun justru jengah–jengah yang lain lagi yang bermunculan. Rasa jengah yang berpadu dengan kebingungan, kekhawatiran dan ketakutan–ketakutan juga. Lho kenapa?
Trauma akan perceraiannyalah setidaknya menjadi salah satu alasan utama kenapa dia sering jengah dan lalu meragu. Rasa trauma yang sedemikian masih melekat di benak pikiran dan relung hatinya, akibat dulu dia dikhianati lalu diabaikan kemudian ditelantarkan bersama dua anak perempuannya yang masih balita. Bahkan dia dicerai saat anak keduanya masih dikandungnya di dalam rahimnya.
Sedang keluarga besarnya pun juga mengalami trauma yang kurang lebih sama. Hingga beberapa kriteria sudah ditetapkan secara implisit kepada laki–laki yang sepatutnya nanti menjadi jodoh kedua si janda muda. Hingga tak heran beberapa kandidat sudah tercoret namanya dengan sendirinya dari daftar mereka, bahkan sebelum si calon menjelaskan siapa dan bagaimana dirinya. Hal ini terutama dilakukan oleh ibu si janda muda, yang dulu turut menyaksikan bagaimana putri kesayangannya disia–sia oleh seorang laki – laki yang sudah dianggapnya sebagai anaknya sendiri.
Anak–anak si janda muda pun menjadi bagian pertimbangan terpenting dari si janda muda dalam menilai, mengukur dan mencoba meraba sejauh mana laki – laki yang hadir melamarnya ini mampu memberikan naungan perlindungan bagi mereka. Contoh dan teladan sebagai ayah sambung mereka dan penerimaan total seorang ayah yang tidak ikut membuat tapi akan turut memomong mereka.
‘Beli’ satu dapat 3 dan ‘terima kami sebagai satu paket’ ibaratnya adalah syarat mutlak yang hampir–hampir tak bisa ditawar oleh laki–laki manapun. Satu saja indikasi tak meyakinkan ditunjukkan oleh laki–laki berkaitan dengan profilnya sebagai calon ayah bagi anak–anaknya, si janda muda akan mundur teratur atau lari secepat-cepatnya.
Dan yang tak kalah pentingnya lagi adalah masa depan. Janda yang cerai dari laki–laki yang tidak pernah disangka dan diduga akan memperlakukan mereka dengan sedemikian rupa semena–menanya, memiliki kekhawatiran yang sangat akan mengalami hal yang sama atau yang lebih buruk lagi di kemudian hari. Wajar, jika seseorang yang pernah merasakan jatuh beserta luka dan kesakitan yang harus dideritanya, maka dia pun akan sangat lebih hati-hati untuk selalu menjaga diri agar tidak terjatuh dan terluka kembali dan harus mengalami kesakitan yang sama, atau bahkan lebih parah.
Perempuan kedua, sudah 25 tahun menjanda. Dua anaknya telah memberikan beberapa cucu untuknya. Dahulu, perceraiannya pun kurang lebih sama kondisi dan situasinya dengan yang dialami oleh si janda muda yang diceritakan sebelumnya. Dikhianati, diduakan kemudian ditelantarkan bersama dengan anak-anaknya.
Dan sepertinya dua kisah nyata janda berbeda usia ini adalah hanya dua di antara ribuan kisah pedih para janda di Indonesia yang terkenal sebagai negara dengan tingkat perceraian tertinggi di kawasan Asia Pasifik semenjak beberapa tahun belakangan. Si janda tua akhirnya bertemu dengan seorang duda tua pula. Pensiunan karyawan yang baru saja ditinggal wafat pasangannya. Menduda sendirian, karena anak–anaknya pun sudah berkeluarga dan bermukim di kota yang lain yang jauh dari dia saat ini berada.
Tanpa menunggu waktu yang lama, keduanya sepakat untuk menikah dalam waktu dekat ini. Diawali dengan pertemuan tak disengaja, lalu cukup dengan beberapa pertemuan lanjutan dan beberapa kesepakatan yang diambil di antara keduanya, maka sebuah rencana menghabiskan masa tua secara bersama–sama pun dibuat oleh mereka berdua. Mereka akan menikah, tanpa harus diburu-buru, tanpa biro jodoh, tanpa dakwah, tanpa paksaan dari pihak mana pun dan mengalir bagaikan alur sebuah sandiwara yang sudah diatur oleh seorang sutradara.
Haruskah si perempuan pertama yang janda muda beranak dua balita harus mengalami perjalanan panjang penantian seperti perempuan yang kedua? Haruskah jengah, kegalauan, kekhawatiran dan ketakutan serta trauma atas perceraian yang dialaminya harus menunggu 25 tahun untuk kemudian secara spontan tak disangka bertemu dengan jodohnya?
Tidak ada yang bisa mengharuskan, seperti tidak ada yang bisa meramalkan akan seperti apa dan bagaimana perjalanan hidupnya di masa-masa selanjutnya. Karena jodoh, selayaknya hidup, mati dan rezeki tidak pernah bisa diduga, tidak pernah bisa disangka–sangka datang dan perginya. Direka–reka dan diupayakan? Itu kewajiban. Karena manusia memiliki kewajiban untuk selalu berusaha dan berupaya dalam hidupnya.
Oleh karena itu, jika boleh menyimpulkan, janda, duda, layaknya manusia lainnya. Mereka punya rencana-rencana, mereka punya harapan dan cita-cita. Didasari oleh ilmu, pengetahuan, dan pengalaman setiap mereka akan memilih dan memutuskan berbagai macam hal serta permasalahan dalam masing-masing. Namun jika sudah urusan menikah kembali? Mari kembalikan kepada masing – masing mereka sebagai bagian dari hak pribadi mereka. Juga sandarkan kembali urusan jodoh kepada pemahaman paling hakiki tentang perjodohan yang sudah dipahami oleh semua manusia sebagai bagian dari takdir tak terbantahkan dari Sang Maha Pencipta.
Dan saya jadi teringat mendiang ibu saya sendiri. Janda dengan 7 anak kecil dan remaja yang terpaksa menjadi yatim karena ditinggal wafat ayah kandungnya. Butuh berapa lama akhirnya mendiang ibu saya menemukan jodohnya yang kedua? Mungkin selamanya, karena beliau pun menutup usianya beberapa tahun lalu dengan tetap menyandang status janda.
Jadi, haruskah janda dan duda harus menikah lagi dengan segera? Saya mungkin akan diam dan menganggap pertanyaan ini tidak membutuhkan jawaban, karena jawabannya kembali kepada masing–masing diri para janda, para duda yang setidaknya juga akan terus bergulat dengan pertanyaan yang kurang lebih sama, “Haruskah saya menikah lagi dengan segera?”
Dituliskan oleh Yasin bin Malenggang untuk rubrik #Spinmotion di Vemale Dotcom. Lebih dekat dengan Spinmotion (Single Parents Indonesia in Motion) di