Tidak menyerah apapun hasil diagnosis dokter. Kisah nyata ini diceritakan oleh salah satu sahabat vemale untuk Lomba Menulis: My Life, My Choice.
***
Saya pernah membaca sebuah kutipan:
“Jangan pernah iri terhadap keberhasilan dan kesuksesan orang lain, karena kita tidak pernah tahu apa saja yang telah diambil darinya.”
Ketika dinyatakan lulus beasiswa, banyak yang memberi selamat pada saya dan suami. Dengan demikian kami berdua akan kuliah S3 di kampus yang sama, pada saat yang sama.
Terdengar ideal? Ya.
“Namun kita tidak pernah tahu apa saja yang telah diambil darinya...”
Beberapa saat setelah saya mendapat pengumuman kelulusan beasiswa, saya juga mendapat diagnosa hasil MRI otak dan tulang belakang. Suspect Multiple Sclerosis, demikian tulisan dokter di kertas rekam medis saya.
Patah hati? Ya.
Multiple sclerosis (MS) adalah salah satu penyakit kronis autoimun yang jarang terjadi di Indonesia. Penyakit ini menyerang myelin (pembungkus syaraf) di tulang belakang dan otak. Efek yang ditimbulkan sangat beragam pada setiap orang, yang paling berat adalah kelumpuhan. Jika sedang kambuh, gejalanya mirip stroke; lumpuh dan pandangan buram. Ingat almarhum komedian Pepeng? Nah beliau ada penyandang MS hingga akhir hayatnya.
Bukan tentang MS yang hendak saya bahas di sini. Yang hendak saya ceritakan adalah bagaimana saya memilih untuk meneruskan hidup. Ketika saya mendengar diagnosa tersebut, kondisi saya langsung drop. Imbas dari kondisi fisik yang lemah karena baru saja mengalami serangan MS, ditambah kondisi hati yang sedih dan frustasi.
Membayangkan harus duduk di kursi roda dan mengkhawatirkan tidak bisa membesarkan dua anak saya yang masih kecil, merupakan ketakutan yang sangat menggerogoti. Saya tidak lagi antusias terhadap beasiswa dan perkuliahan. Saya berpikir, "Buat apa beasiswa. Belum tentu saya akan bisa menyelesaikan kuliah karena akan terkendala MS."
I was in a very bottom part of my life.
Lalu muncullah penyelamat, adeku bernama Indah. Karena dia adalah mahasiswa pascasarjana jurusan Kimia, maka semangat yang dia pompakan adalah dalam bentuk penurunan rumus kimia. Hahaha ribet. Intinya adalah, Indah berkata:
"Yuk (sapaan untuk kakak perempuan, bahasa Palembang), semua penyakit ada hubungannya dengan sistem metabolisme tubuh. Reaksi-reaksi kimia dalam tubuh akan menentukan berkembang atau tidaknya suatu penyakit/kuman/atau apapunlah itu. Reaksi yang paling penting adalah pelepasan hormon kebahagiaan. Hormon Endhorfin, Serotonin, Dofamin, Oksitosin. Pokoknya Yuk, be happy.”
Terlepas dari benar atau tidaknya teori kimia kebahagiaan versi Indah, saya akhirnya setuju untuk mengenyahkan kekhawatiran dan menikmati hidup seperti sebelum terkena dua kali serangan MS. Saya mulai fokus mempersiapkan keberangkatan kuliah ke Inggris, sembari saya menjalani terapi dan pengobatan untuk MS.
Kadang orang-orang di kanan kiri seperti berusaha menarik saya turun dari impian-impian saya. Mereka berkata; “Untuk apa sekolah lagi, toh belum tentu kuat dan sehat selama di negara orang.” Ada juga yang menyarankan saya untuk berganti karir; “Udahlah ga usah kuliah lagi, ga usah ngoyo jadi dosen, jadi ibu rumah tangga saja biar sakitnya ga kambuh.” Juga saran lain yang kadang menurut saya memberi efek demotivasi ketimbang efek bahagia karena merasa diperhatikan.
Tapi kita benar-benar gagal ketika kita berhenti mencoba, bukan?
"Bisa jadi, duduknya kalian di sini (sebagai penerima beasiswa) diangankan jutaan orang di luar sana. Semua hal adalah tergantung pikiran, termasuk sakit."
Demikian dua perkataan Pak Kamil dari Kemenkeu, salah satu pembicara dalam kegiatan pembekalan penerima beasiswa. Perkataan Pak Kamil dan Indah adalah selaras. Saya tanamkan bahwa semua hal adalah tergantung pikiran. Jika saya berpikir saya sehat, maka saya sehat. Saya tidak ingin menyia-nyiakan satu tempat yang sudah diberikan negara untuk beasiswa saya. Saya kuatkan hati dan tekad, tetap berangkat sekolah ke Inggris.
Alhamdulillah saya sehat!
Hari ini, 1 April 2017. Berarti sudah tujuh bulan saya tiba di Inggris. Perkuliahan saya lancar, saya menjalaninya dengan bahagia dan antusias. MS saya hingga saat ini belum pernah kambuh lagi. Dua bulan lalu saya menjalani tes MRI di rumah sakit di Inggris, dan hasilnya sangat menyenangkan, tidak ada lesi (luka) baru yang akibat serangan MS.
Bersekolah di Inggris juga memberi saya kesempatan untuk berkontribusi lebih besar untuk Yayasan Multiple Sklerosis Indonesia (YMSI). MS adalah penyakit yang prevalansinya tinggi di negara sub tropis seperti Inggris, karena penyebab MS diduga salah satunya adalah karena kekurangan vitamin D atau paparan matahari. Karena penanganan MS di Inggris sudah lebih maju dan mapan ketimbang di Indonesia, saya jadi bisa bercerita banyak mengenai MS kepada teman-teman dan dokter di YMSI. Kami sedang berusaha meningkatkan public awareness masyarakat Indonesia terhadap penyakit autoimun dan berusaha memberi usulan kepada pemangku kebijakan agar penyakit autoimun dapat tercover BPJS.
Saya bersyukur ketika itu memilih untuk kuliah lagi, tetap aktif berkegiatan dan berkontribusi pada kehidupan. Saya belum tahu apakah kuliah saya akan mulus atau tidak, tapi saya tahu bahwa saya sudah memilih untuk menjalani hidup secara bahagia dan terus memproduksi hormon kebahagiaan. My life, my choice. Mengutip motto rekan-rekan MS survivors di YMSI; “Keep Smyelin :)”
Best regards,
Dian. Yang Tak Kunjung Padam.
(vem/yel)