Akhir minggu lalu, Indonesia gempar karena kejadian bunuh diri di platform Facebook Live. Seorang pria bernama Pahinggar Indrawan, bunuh diri dengan cara gantung diri. Ia menyebarkan aksinya lewat akun Facebook Livenya. Alasan bunuh diri Pahinggar adalah karena cemburu dengan sang istri. Kisah tentang Pahinggar selengkapnya bisa dibaca di sini.
Kejadian bunuh diri di sosial media sebenarnya bukan yang pertama kali terjadi. Januari 2017 lalu, Naika Venant, 14 tahun dari Florida juga menggantung dirinya dengan scarf secara langsung di akun Facebooknya. Adapula aktor asal Los Angeles, Jay Bowdy, 33 tahun yang menyiarkan aksi bunuh dirinya menggunakan pistol. Di akhir Desember 2016, gadis berusia 12 tahun asal Georgia, Amerika Serikat, Nicole Davis, juga menyiarkan aksi bunuh dirinya secara live.
Apa yang terjadi? Mengapa media sosial yang harusnya merupakan media untuk bersilaturahmi mulai berubah fungsi? Kini media sosial sudah menjadi ruang publik. Bunuh diri dan menyiarkannya di media sosial bisa dibilang sebagai bunuh diri di ruang publik. Menurut teori psikologi, ada beberapa hal yang mendorong orang untuk melakukannya. Dikutip dari Psychology Today yang ditulis oleh Katherine Ramsland, Profesor psikologis forensik dari Universitas DeSales, Pennsylvania, perilaku bunuh diri di ruang publik adalah bentuk permintaan tolong.
“Dengan melakukannya di muka umum, orang-orang ini mungkin berharap mendapat pertolongan,” ujarnya seperti dikutip Vemale, Senin (20/3).
Sedangkan Nukman Luthfie, pengamat media sosial, dalam sebuah wawancaranya dengan sebuah media online menyatakan bahwa dorongan Pahinggar menyiarkan aksi bunuh dirinya adalah untuk pamer. Lebih Lanjut, Dosen dan Peneliti Fakultas Psikologi dari Universitas Yarsi, Nuri Sadida mengungkap bahwa fitur ‘likes’ dan komen di platform media sosial ikut mendorong orang untuk membagi segala hal tentang dirinya. Mulai dari status, foto, video, curhatan pribadi, dan sebagainya. Jumlah komen dan likes itu menurut Nuri lagi, yang menjadi penghargaan bagi mereka.
Sayangnya hingga saat ini tidak ada media sosial yang melakukan kurasi konten. Kontrol konten dipegang oleh para netizen sendiri yang memiliki kesadaran untuk melaporkan konten-konten yang dianggap tidak pantas. Perilaku bunuh diri yang sudah terlanjur tersebar itu pun kini dikhawatirkan dapat menjadi tren dan menginspirasi orang lain.
“Kekhawatirannya beralasan, mengingat video adalah tampilan visual, dan materi visual lebih mudah direkam dalam ingatan ketimbang materi teks,” ujar Nuri saat diwawancara oleh Vemale.com.
Lalu bagaimana peran kita sebagai pengguna media sosial untuk mencegah hal-hal seperti ini terjadi lagi di kemudian hari?
1. Pengguna media sosial cerdas
Tidak menggunakan media sosial sama sekali bukanlah jawabannya. Bagaimanapun, media sosial tetap memiliki banyak manfaat. Namun kita harus membekali diri kita untuk menjadi pengguna yang cerdas. Batasi konten yang kita bagikan. Cek dulu kebenarannya. Lebih baik menjadi seseorang yang membagikan berita dengan benar, ketimbang menjadi seseorang yang pertama kali membagikan berita, namun berupa hoax.
Baca juga: Cara Cerdas Bermedia Sosial
2.Perhatikan bentuk konten yang diposting
Pastikan dulu hal-hal yang kamu bagikan tidak bersifat sensitif atau memiliki kemungkinan untuk menyakiti perasaan orang lain. Hindari hal-hal yang bersifat SARA dan sebagainya. Jangan sampai kamu malah kehilangan teman karena postingan di media sosial.
3. Jangan membagikan hal-hal yang terlalu pribadi
Ada batasan yang harus kamu sadari, karena tak semua hal di hidup kamu pantas dikonsumsi publik. Jika kamu merasa perlu meminta bantuan atau berbagi kepada seseorang, berbicaralah kepada orang terdekat. Jangan jadikan sosial media sebagai pelarian. Bagaimanapun, sosial media tak akan bisa menggantikan kebutuhan sosialisasi kamu dengan orang lain.
Sebaliknya, jika kamu melihat keluarga, sahabat atau teman yang berkeluh kesah di akun sosial medianya, bantulah mereka. Tanyakan kabarnya lewat telepon, atau pesan di jalur pribadi. Perlihatkan pada mereka bahwa kamu siap menjadi tempat untuk berkeluh kesah. Jangan sampai kebiasaan bersilaturahmi di media sosial malah melunturkan kepekaan kamu dalam bersosialisasi. Karena tak semua hal bisa digantikan dengan teknologi. Jangan sampai ada Panghigar-Panghigar lainnya.
Semoga kamu berbahagia.
(vem/kee)