[Vemale's Review] Novel ''Tanah Surga Merah'' - Arafat Nur

Fimela diperbarui 18 Mar 2017, 10:20 WIB

Judul: Tanah Surga Merah
Penulis: Arafat Nur
ISBN: 978-602-03-3335-9
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Cetakan pertama, Januari 2017

Konflik politik di Nangroe Aceh Darussalam (NAD) bukan sekadar latar novel ini, tetapi juga inti cerita. Meski menjadikan gejolak politik lokal sebagai pokok cerita, naskah ini tidak terperangkap pada reportase jurnalistik. Ia menghadirkan seorang mantan tentara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang pulang ke kampungnya dan menemukan kenyataan-kenyataan yang tidak sepenuhnya bisa ia terima. Ada harapan yang tidak terpenuhi tetapi juga ada keajaiban yang datang tanpa diminta. Disampaikan dengan gaya reportase yang tidak kering, novel ini dengan sabar membangun peristiwa demi peristiwa tentang tema-tema lokal yang sangat politis.Pengalaman romantis yang membayang samar di akhir naskah ini adalah sejumput harapan di tengah segala yang begitu mengekang. Benturan antara banyak kepentingan dan karakter, dengan amunisi konflik politik lokal, bukan hanya membuat naskah ini sebagai naskah novel politis tetapi juga memberi humor yang baik.... (Dewan Juri Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta 2016)


Murad, setelah sekian lama berada di tempat persembunyian akhirnya memberanikan diri untuk pulang ke kampung halaman. Dia sampai berusaha mengubah penampilannya agar tak gampang dikenali. Tapi nyatanya ia masih diburu juga. Sebagai mantan anggota Partai Merah dan pernah menembak salah seorang anggota lain demi membeli kehormatan salah satu kerabat wanitanya, Murad tak bisa hidup dengan tenang.

Siapa sebenarnya Partai Merah itu? Pada awalnya, Partai Merah dikenal sebagai partai yang dianggap bisa membawa perdamaian juga kemakmuran di Aceh. Sayangnya, Murad kemudian menemukan orang-orang Partai Merah jauh berbeda dengan sifatnya saat berjuang dulu setelah dilakukan perdamaian antara Aceh dan pemerintah Indonesia. Banyak yang diperbudak oleh jabatan, kekuasaan, harta, juga wanita. Murad pun kemudian memilih untuk menentukan jalannya sendiri.

Akan tetapi, Murad menerima banyak sekali tuduhan. Mulai dari dianggap sebagai pembunuh, penjahat yang keji, bandar narkoba, hingga dianggap berusaha membangun partai baru untuk mengalahkan Partai Merah. Kepulangannya ke Lhamlok yang berdekatan dengan pemilihan umum juga dicurigai karena dianggap ia memiliki niat terselubung mengacaukan pemilihan anggota dewan.



Tak mudah hidup dalam pelarian. Berulang kali dipukuli dan nyaris tertangkap, Murad masih bisa meloloskan diri. Akan tetapi Aceh sebagai tanah kelahirannya yang begitu dicintainya tak bisa menerimanya. Dirinya selalu merasa terancam di mana pun ia berada. Sampai akhirnya dia menyamar menjadi seorang teungku di tengah masyarakat yang akhirnya bisa menerimanya. Namun, masalah tak berhenti di situ saja. Orang-orang dari Partai Merah terus memburunya. Bagaimana nasibnya selanjutnya?

Mereka yang berjiwa bandit malah menjadi raja, dipuja-puja, dan diberikan kekuasaan. Jika tidak berbuat jahat, tidak menindas sesama, dan tidak menipu rakyat; jangan harap bisa jadi penguasa.
(hlm. 55)



Membaca novel ini kita akan merasakan betapa mencekam dan tidak tenangnya hidup sebagai orang yang selalu diburu. Ikut deg-degan dengan setiap langkah dan pilihan yang diambil. Berusaha bertahan dan menyelamatkan diri sebagai "buronan" bukanlah hal yang mudah.

Perjuangan Murad yang ingin menyuarakan rakyat dan membuat Aceh sebagai tanah kelahirannya menemui banyak batu sandungan. Ia dan sejumlah temannya yang memiliki niat perjuangan yang sama malah dikucilkan. Menghadapi para bandit jahat yang menduduki posisi-posisi penting dan strategis di pemerintahan jelas hal yang tak bisa dianggap remeh.

"Tolong jangan paksa aku membaca buku. Aku ini orang aceh yang tidak suka baca buku. Kesukaanku adalah menipu. Aku orang Indonesia. Orang Indonesia juga tidak suka buku. Kami ini keturunan orang yang dijajah Belanda dan Jepang. Kami tak suka buku, Kami suka menekan dan menyakiti orang."
(hlm. 98)


Selain membahas soal konflik dan kritik sosial, terselip juga soal sindiran masih rendahnya minat baca. Sungguh sedih memang saat membaca dianggap sebagai hobi yang sia-sia dan nggak berguna. Apalagi ketika uang masih dipuja dan didewakan karena dianggap bisa membeli segala-segalanya, tak terkecuali jabatan dan kedudukan. Murad dan seorang kawannya bernama Abduh memiliki pemikiran untuk bisa memajukan masyarakat dan kampung halamannya. Ingin lebih menggiatkan kebiasaan dan budaya membaca agar terhindar dari kebodohan massal. Pastinya juga Murad ingin bisa melihat Aceh yang damai seperti yang ia raskan dulu.

Buat kamu yang ingin membaca novel dengan latar politik tapi dengan bahasa yang ringan serta lebih mendalami kritik sosial, novel Tanah Surga Merah ini bisa jadi salah satu rekomendasi terbaik. Sejumlah kejadian dan tokoh-tokoh yang ditampilkan di novel ini bisa membuatmu tertawa miris dan membuat hati bergetar. Setelah membaca kisah Murad secara keseluruhan, kita baru akan benar-benar memahami yang dimaksud dengan "merah" dalam judul Tanah Surga Merah ini.

 

(vem/nda)