[Vemale’s Review] 'Hati yang Gembira Adalah Obat' Sophie Navita

Fimela diperbarui 10 Mar 2017, 16:46 WIB

Mengejutkan! Demikian reaksi saya ketika sudah setengah jalan membaca 'Hati yang Gembira Adalah Obat' karya presenter Sophie Navita. Saya tidak menyangka jika Sophie yang cuek, petakilan, dan ceplas-ceplos di layar kaca, nyatanya adalah pribadi yang berkebalikan 180 derajat.

Dari kemasan muka, saya pikir 'Hati yang Gembira Adalah Obat' adalah buku resep masakan. Namun buku ini ternyata adalah semi-otobiografi yang dipadu dengan buku motivasi berbumbu jenaka. Sophie berbagi nilai-nilai kehidupan berdasarkan pengalamannya lahir di Singapura, sekolah di Jakarta, kuliah di Bandung, kembali lagi ke Jakarta untuk berkarir, dan akhirnya hijrah ke Bali.

Tiga poin yang mengena buat saya dalam buku ini adalah: pertanyaan 'Siapakah Anda'; cantiknya perempuan sehingga tak perlu saling bersaing; dan cara dia menyarankan suatu hal tanpa bermaksud menjelekkan pilihan lain.

Poin pertama mengenai pertanyaan 'Siapakah Anda?' tidak boleh dijawab dengan kalimat,"Saya ibu rumah tangga, ibu dua anak yang suka masak." Ataupun jawaban macam,"Hai, saya perempuan pekerja, 25 tahun, dan suka traveling."

NO! Buat Sophie, bukan jawaban itu yang mendefinisikan kehadiran kamu di dunia ini. Lihat pertanyaannya dan pikir baik-baik siapa kamu dan apa tugas kamu di muka bumi?

Semakin saya menelaah halaman buku ini, semakin saya tidak menemukan jawabannya. Malah timbul pertanyaan baru,"Apakah saya harus punya tugas di bumi selain yang sudah saya lakukan saat ini?". Sampai akhir buku ini pun saya masih memikirkan baik-baik jawabannya.

Soal kedua, mengenai cantiknya perempuan sehingga tak perlu bersaing satu sama lain. Istri dari musisi Pongky Barata ini mau meredam aksi saling sinis antar-perempuan (ayo, ngaku deeeh, pasti kamu pernah begituuu). Ia ingin menegaskan bahwa perempuan itu masing-masing cantik dengan sendirinya, nggak perlu saling sikut untuk membuktikan kamu lebih dari pada yang lainnya.

Dan, perkara ketiga yang buat saya paling mengena, soal menyarankan suatu hal tanpa menjelekkan hal lain. Contohnya saat Sophie bercerita ketika dia memilih sistem homeschooling untuk kedua anaknya. Dia kemudian tidak memberi label buruk metode pendidikan lainnya.

"Homeschooling itu seperti ASI, khusus dibuat. Homeschooling cocok untuk kami tapi bukan artinya cocok untuk orang lain. Ini bukan persoalan mana yang lebih baik, melainkan cocok atau tidaknya," tulis Sophie.

Cara yang sama dipaparkannya soal ASI. Selama ini pro-kontra soal ASI membuat perempuan berpikir bahwa ASI adalah suatu kewajiban. Tapi menurut Sophie, ASI adalah hak. "Cairan ASI tidak dapat digantikan, tapi hak ibu memberi ASI atau tidak, tidak bisa kita campuri," ujar Duta ASI itu.

Tak disangka, bukan? Ragam pemikiran bijak bisa disampaikan lulusan Universitas Parahyangan, Bandung, ini. Termasuk perkara dirinya "berdamai" dengan almarhum sang ayah yang alpa memberinya guyuran kasih. Tak lupa buku ini ditutup dengan beberapa resep menu sehat a la Sophie yang sudah resmi menjadi plant-based Chef.

Kesimpulan: buku ini menyegarkan lahir dan batin. Karena ternyata ada kredo-kredo sederhana yang mudah diterapkan agar menjalani hidup dengan lebih santai dan sehat. Buku ini juga tak bermaksud menggurui, hanya berbagi. Selamat membaca :)

And by the way, ada satu editor lagi di Vemale.com yang sudah membaca dan menuangkan pendapatnya soal buku ini. Simak review yang menyegarkan dari Endah Wijayanti di tautan ini.

(vem/zzu)