Mungkin kisah ini adalah kisah yang tak pernah ingin dialami oleh siapapun. Seorang janda tua, terbentuk dari pengalaman hidup yang pahit dari kedua perkawinannya yang kandas, kini dihadapkan pada kenyataan bahwa anak perempuan satu-satunya juga menjadi janda di masa mudanya. Menantunya, suami dari anak perempuannya, belum lama berselang telah berpulang, meninggalkan 3 orang anak-anak yang masih sangat belia.
Dengan tak memiliki bekal ilmu dan pengalaman kerja yang mencukupi, anak perempuannya tak mampu untuk menghidupi diri sendiri dan ketiga anak-anak yang juga tak berdaya. Jadilah empat jiwa ini menjadi tanggung jawab janda tua yang hanya memiliki usaha warung makan yang sederhana. Dua perempuan, dua janda dan tiga anak-anak belia, berkumpul bersama dalam kondisi penuh keterbatasan. Kehidupan telah berubah 180 derajat bagi mereka, karena tak ada peninggalan yang berarti dari mendiang ayah ketiga anak itu untuk menjadi bekal dan jaminan masa depan.
Seorang perempuan lain, janda beranak tiga yang diceraikan oleh suaminya yang terpikat oleh wanita lain, serta merta harus bekerja double shift sebagai marketing di dua perusahaan. Mantan suaminya tak lagi memberikan tunjangan hidup seperti yang dijanjikan. Dalam upaya memenuhi kebutuhan hidup, waktu untuk mengasuh dan mendidik anak pun berkurang. Ia bahkan harus menitipkan anak-anaknya kepada keluarganya yang masih mau berempati dan memberikan pertolongan. Sehari-hari hidupnya diisi dengan perjuangan, dalam persaingan dan kompetisi yang semakin meninggi dalam kehidupan. Tapi demi anak-anaknya dan demi kehidupan yang lebih baik, semangat untuk tetap berjuang selalu dipegangnya kuat dalam genggaman. Semangat yang membuatnya tetap tegar dalam menjalani jatuh bangunnya, sukses gagalnya dan kerasnya dunia karier dan pekerjaan.
Terkadang masyarakat lupa untuk berempati kepada nasib mereka, para janda, para single moms, atau para single parents lainnya. Alih-alih berempati, sebagian orang justru menganggap mereka sebagai kelompok rawan yang memiliki dampak buruk dan pengaruh negatif. "Orang gagal", "Pengganggu rumah tangga orang", "kegatelan" adalah sebagian predikat yang disematkan kepada para single parents. Adil kah? Patut kah? Jika agama sendiri menganjurkan untuk menyantuni mereka dan mendudukkan mereka sebagai kelompok yang harusnya mendapatkan empati dan dukungan? Bahkan tak jarang, sekelompok orang lainnya memanfaatkan keterdesakan ekonomi dan keterpurukan kondisi para janda atau single moms untuk menjadikan mereka suvenir atau bahan permainan. Walau tak menafikan bahwa ada beberapa janda yang akhirnya juga mau dijadikan selingan atau simpanan. Namun jauh lebih banyak yang tetap konsisten pada perjuangannya sendiri tanpa mengharapkan belas kasihan yang bertendensi miring dan cenderung justru menyesatkan. Mereka tetap istiqomah untuk mandiri, berdiri di kaki sendiri demi anak-anaknya agar memiliki masa depan yang lebih baik, serta kehidupan yang lebih nyaman.
Belilah dari mereka, jangan 'beli' mereka untuk niat iseng atau coba-coba. Belilah dengan penghargaan tinggi hasil upaya mereka, jangan rendahkan usaha dan perjuangan mereka justru dengan memanfaatkan kesempatan dari kesempitan mereka. Kedepankan simpati dan empati, bukannya mendahulukan libido berdasar stigma yang sudah salah kaprah sejak awalnya tentang mereka.
Pertolongan yang diberikan kepada para orang tua tunggal ini akan membantu anak-anak mereka untuk menjadi generasi penerus kelangsungan bangsa. Tidak menutup kemungkinan bahwa di suatu saat, di suatu waktu, kita bisa saja bertukar peran dengan mereka.
It's time to buy from single parents. Karena bagaimana pun juga single parents dan anak-anaknya adalah bagian dari lingkungan kita. Bantu mereka atau cukup bersimpati jikapun tak bisa membantu. Bukannya berstigma, ber-negative thinking atau bahkan memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan mereka untuk kesenangan semata.
Suatu hari, seorang anak laki-laki bertanya pada ibunya yang telah mengasuhnya seorang diri sejak bayi. "Ma, gentleman itu artinya apa?" Sang ibu menjawab, "Seseorang yang mencintai orang lainnya dengan sepenuh hati, tanpa syarat dan siap melakukan segalanya demi orang yang dicintainya."
Mendengar jawaban ibunya, si anak berkata, "Jika besar nanti, aku ingin jadi gentleman seperti ibu."
Dituliskan oleh Yasin bin Malenggang untuk rubrik #Spinmotion di Vemale Dotcom. Lebih dekat dengan Spinmotion (Single Parents Indonesia in Motion) di http://spinmotion.org/.
- Perceraian Menjatuhkanku, Tapi Membangkitkanku Lebih Kuat Lagi
- Membangun Lagi Kepingan Hidup Setelah Perceraian Terjadi
- Kisruh Cerai Semakin Perih Karena Berebut Gono-Gini
- Kuberikan Restu Untukmu Menikah Lagi, Tapi Kau Remukkan Janji Itu
- Menjadi Single Parent, Kupilih Keputusan Yang Tak Ingin Kupilih