Minggu lalu, headline media lokal sempat dihebohkan dengan berita gugatan Nilam Sari, mantan istri pengusaha Hendy Setiono, yang merupakan pemilik Kebab Baba Rafi. Berita ini awalnya terkuak karena curhatan Nilam di akun Facebooknya (baca selengkapnya di sini). Di sana terungkap bahwa ia sudah mengalami kekerasan emosional selama bertahun-tahun. Nilam awalnya tetap ingin mempertahankan keluarganya, hingga di satu titik ia lelah dan akhirnya memutuskan untuk berpisah.
Baca juga : Belajar dari Nilam Sari, Berani Melawan Kekerasan Emosional dalam Pernikahan
"Saya merasa sangat tersiksa dalam hubungan rumah tangga saya selama 3 tahun terakhir ini. Saya sudah mencoba melakukan semua usaha yang terbaik untuk bertahan dan menyelamatkan rumah tangga saya. Sungguh saya sudah mencoba semuanya. Akhirnya saya sampai di titik yang memaksa saya untuk mengambil langkah ini. Saya tidak punya pilihan lain. "
Langkah Nilam tentu memiliki pro-kontra, ia pun menuliskannya di akun Facebooknya. Dari mulai soal membuka aib, perasaan anak, hingga soal bisnis dan hajat hidup karyawan, menjadi sesuatu yang dibebankan ke Nilam karena keputusannya untuk bercerai.
“Banyak yang bertanya mengapa saya harus membuka aib saya? Apa kamu tidak memikirkan keluargamu? Bagaimana dengan anakmu? Bagaimana dengan orangtuamu? Bagaimana dengan bisnismu? Kenapa kamu menghancurkan bisnismu? Tim saya di kantor juga bertanya, mengapa Bu Nilam melakukan ini? Apakah mau menghancurkan Baba Rafi dan tidak memikirkan hajat hidup orang banyak?“
Saya merasa miris saat membaca tulisan tersebut, dan tersadar, pertimbangan seorang perempuan untuk memperjuangkan kebahagiaannya sungguhlah berat, karena dia ‘wajib’ memikirkan kebahagiaan, dan nama baik orang lain terlebih dahulu. Adilkah itu?
Jangan cerai, kasihan anak-anak
Ini adalah komentar paling umum yang akan terdengar saat seorang memutuskan untuk bercerai. Padahal, banyak penelitian yang sudah membuktikan bahwa, anak-anak yang orangtuanya bercerai, juga bisa tumbuh dengan bahagia, layaknya mereka dengan keluarga utuh. Karena yang paling penting adalah, membesarkan anak dengan perasaan bahagia. Apalagi jika perpisahannya secara baik-baik, itu berarti kamu masih punya kesempatan baik untuk berkomunikasi dengan mantan. Sehingga bisa menghasilkan metode yang terbaik untuk anak. Ini jauh lebih baik memiliki keluarga yang utuh, namun penuh konflik dan tidak bahagia.
Bercerai itu memalukan
Benarkah? Bercerai pasti tak pernah menjadi pilihan orang sejak awal. Namun jika perpisahan memang harus terjadi, tak adil rasanya menganggap itu memalukan. Karena keputusan ini merupakan hal terakhir, karena tak ada jalan keluar yang lain. Jika ini terjadi pada keluarga terdekat, yang terbaik adalah memberikannya dukungan dan bukan menghakimi. Berjuang sendiri, tanpa pasangan, bukanlah hal yang memalukan sama sekali, itu membuktikan bahwa perempuan cukup kuat untuk ‘berdiri di kakinya sendiri’.
Bercerai = membuka aib keluarga
Saya percaya, aib sebagaimana ditutupi, suatu saat bisa saja terbuka. Saya juga percaya, seminim apapun aib yang kita punya, akan selalu ada orang-orang yang selalu menghakimi kehidupan kita. Jadi bercerai atau tidak, akan selalu ada orang yang bergosip. Menggantungkan kesempatan untuk berbahagia demi mereka sama dengan membuang waktu percuma.
Kembali ke cerita Nilam Sari, bagi saya, apa yang dilakukannya adalah sebuah tindakan yang berani. Ia berani meninggalkan kehidupan yang sudah membuatnya tersiksa, untuk meraih kebahagiaan yang seutuhnya. Dengan hidup berbahagia, saya yakin, ia bisa membesarkan anak-anak yang berbahagia, meraih kesuksesan dalam berbisnis, dan memiliki karyawan-karyawan yang juga berbahagia.
Kamu setuju, Ladies? Silakan share pendapat kamu di kolom komentar ya!
(vem/Kee)