Belajar Dari Nilam Sari: Berani Bicara Lawan Kekerasan Emosional

Fimela diperbarui 01 Mar 2017, 11:49 WIB

Setahun yang lalu, teman saya mengirimkan e-book ke e-mail saya. E-book itu berjudul Attached: The New Science of Adult Attachment and How It Can Help You Find - and Keep - Love, tulisan Amir Levine dan Rachel S. F. Heller. Saat itu sang pengirim berkata, "Kamu harus baca ini, ini menyoal cinta tapi dari pandangan saintifik." Sebagai orang yang hampir setiap hari secara naluriah membaca-baca sumber bacaan sains dan pandangan logis dari semua masalah dan fenomena yang ada di dunia ini, saya pikir, "Ah, palingan juga faktanya kayak yang ditulis-tulis di web-web itu. 'Alasan sains di balik kenapa kamu jatuh cinta pada pandangan pertama'. So cheesy."

Tetapi, tiba-tiba saya teringat dengan satu bagian dari bab awal buku tersebut yang menceritakan tentang seorang perempuan bernama Tamara. Tamara perempuan yang pintar, karirnya gemilang dan menjadi leaderyang cukup disegani di perusahaannya. Dengan pencapaian-pencapaiannya itu, bukan hal yang susah untuk Tamara mendapatkan pasangan bukan? Nyatanya, tidak semudah itu sampai akhirnya ia bertemu dengan Greg yang ternyata mampu meluluhkan hatinya. Singkat cerita, mereka berdua berpacaran.

Namun, kegalauan Tamara soal kehidupan cintanya ternyata tak mampu diredakan dengan memiliki Greg di sisinya. Selama berpacaran dengan Greg, ia merasa selalu khawatir dan dibayangi rasa "Bagaimana kalau Greg minta putus?". Mungkin terdengar kontradiktif: Tamara yang tangguh dan intelek di dunia kerja, seolah rapuh begitu dihadapkan dengan perasaan-perasaannya. Perlahan-lahan, Greg menunjukkan penyangkalan dalam hubungan mereka. Perdebatan demi perdebatan terdengar hampir setiap kali bertemu, yang terdengar adalah Greg yang selalu menganggap Tamara rendah dan tidak berharga. Tidak ada lagi kata-kata cinta. Tamara, sudah bisa dipastikan, merasa dirinya tak dicintai dan ditolak secara emosional oleh pasangannya sendiri.

Di sekitar kita, banyak Tamara-Tamara lain yang seringkali tidak kita sadari. Jika selama ini kekerasan dalam rumah tangga lebih akrab dengan term physical abuse atau kekerasan yang melibatkan kontak fisik, emotional abuse lebih sedikit disoroti. Padahal, nyatanya banyak perempuan dalam pernikahan yang mengalaminya.

Baru-baru ini, emotional abuse menjadi perhatian sejak merebaknya kasus bos Kebab Turki Baba Raffi, Hendy Setiono. Dilansir dari brilio.net, mantan istri Hendy, Nilam Sari, melaporkan suaminya ke Polda Metro Jaya karena telah melakukan perzinaan saat masih terikat perkawinan. Keduanya telah menikah selama 14 tahun dan telah dikaruniai tiga orang anak.

Secara terbuka, melalui akun Facebooknya, pada tanggal 26 Februari 2017 lalu,  Nilam Sari mencurahkan isi hatinya tentang masalah yang membelit rumah tangganya. (selengkapnya, baca di sini)

"Saya merasa sangat tersiksa dalam hubungan rumah tangga saya selama 3 tahun terakhir ini. Saya sudah mencoba melakukan semua usaha yang terbaik untuk bertahan dan menyelamatkan rumah tangga saya. Sungguh saya sudah mencoba semuanya. Akhirnya saya sampai di titik yang memaksa saya untuk mengambil langkah ini. Saya tidak punya pilihan lain. "

Setelah melakukan press conference, Nilam mendapatkan banyak sekali pesan-pesan yang masuk dari perempuan-perempuan yang bernasib sama sepertinya.

"Ada yang ditinggal suami H-1 waktu melahirkan, ada yang ditinggal suami dengan istri mudanya dan tidak dinafkahi, bahkan ada yang menjadi korban KDRT, suaminya selalu meminta maaf tapi kambuhan. Jujur ini membuat saya miris. Di Indonesia, yang katanya negara dimana ekualitas gender sudah sangat diakui dan semua serba terbuka, justru lingkungan kita sendiri yang selalu menghakimi dan melabeli atas nama "DEMI": demi nama baik, demi pencitraan, demi status, demi anak, dan demi lainnya."

Apa yang dialami Nilam dan banyak perempuan di Indonesia ini bukanlah bagian dari cukilan drama sinetron. Kekerasan emosional nyata terjadi dan seringkali seperti api dalam sekam yang membakar diam-diam. Korban kekerasan emosional seringkali tak mampu menceritakan dengan exact perasaan-perasaan dan penderitaannya. Label "baperan lu", "Udah ah jangan terlalu sensitif","Ah, elunya aja 'kali yang lagi PMS makanya cengeng" seringkali menjadi tanggapan yang akhirnya membuat kekerasan emosional seolah diwajarkan.

Pada perjalanannya, dalam suatu hubungan seringkali para perempuan tidak menyadari dirinya berada dalam lingkaran kekerasan emosional. Tanda-tanda kekerasan emosional dalam suatu hubungan, misalnya:

Secara konsisten mengkritik dan menghakimi dengan cara negatif

Kritik boleh, tetapi disampaikan dengan cara yang baik dan membangun. Kritik yang disampaikan dengan pelabelan negatif dan kasar, bisa menghancurkan self-esteem seseorang

Mempermalukan dan mencari-cari kesalahan

Akhirnya, seseorang merasa sangat bersalah jika melakukan hal yang dianggap tidak berkenan di hati pasangannya. Perasaan ini menimbulkan ketakutan karena pasangan bisa mengamuk dan mencari-cari kesalahan lain untuk menunjukkan power-nya.

Menolak berbicara dari hati ke hati

Hubungan yang sehat di antara pasangan adalah saat keduanya merasa bebas untuk mengungkapkan perasaan. Pelaku kekerasan emosional tidak mau mendengarkan apa yang sedang dirasakan pasangannya, mengacuhkan bahkan menganggap perasaanmu yang terluka karenanya sebagai drama yang sengaja diciptakan untuk meminta belas kasihan.

Mengasingkan dari dunianya

Pelaku kekerasan emosional akan mengasingkanmu dari aktivitas sehari-hari. Tidak lagi menceritakan tentang kesehariannya, rencana-rencananya dan ... mereka mengasingkanmu dari hatinya. Mereka akan datang jika membutuhkan, dan pergi saat 'menyibukkan' diri dengan dunianya.

Membuatmu merasa tidak berharga dan tidak punya identitas diri

Pelaku kekerasan emosional biasanya merasa dirinya punya power dan menyematkan label-label rendah nan remeh terhadap pasangannya. "Kalau tanpa aku, kamu nggak bisa apa-apa","Semua yang kamu miliki sekarang, itu karena campur tanganku","Maklumi aja, namanya juga pria, kamu tuh jangan jadi drama queen", adalah sedikit contoh dari bagaimana pelaku kekerasan emosional menyerang dan mencabik-cabik self-esteempasangannya. Akibatnya rasa percaya diri hilang dan terombangT-ambing karena merasa tak punya jati diri. Akibatnya, seseorang merasa fully attached dan ragu untuk bertindak tegas melepaskan diri dari 'teror' mental yang didengungkan terus-menerus.

Hubungan antar dua orang manusia, pacaran ataupun pernikahan, bertujuan untuk mencapai salah satu kebahagiaan dalam hidup. Namun, apalah artinya mempertahankan suatu hubungan yang dihujani dengan kemewahan dan keterikatan materi, jika kita terus-terusan mengalami pergulatan batin karena hati yang tersakiti. Hati memang tak bisa dilihat luka lebamnya, tetapi hatilah yang bisa bicara, memilih dan menuntunmu kita kepada keputusan-keputusan yang benar, demi ketentraman batin dan jiwa.

Dalam Hari Perempuan Internasional 2017 yang mengambil tema #BeBoldForChange, satu dari lima area isu yang diperjuangkan para wanita untuk wanita-wanita lainnya di seluruh dunia adalah berani bicara melawan keheningan kekerasan dan mendidik generasi muda tentang hubungan positif.

(Baca Juga: Mengapa Ada Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Wanita?)

Jika kamu merasa dibelenggu dengan kekerasan emosional dalam hubunganmu, mari berani bicara, Ladies. Butuh bantuan? Jangan diam, segera laporkan ke Unit Pengaduan rujukan Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), yang punya unit rujukan aduan di hampir seluruh kota di Indonesia. Kontak di sini.

Speak up, don't be afraid of losing someone who doesn't feel lucky to have you. Because you are worth to fight.

Tulisan ini merupakan opini pribadi Winda Carmelita. Kenalan lebih jauh dengan Winda Carmelita di www.windacarmelita.com

(vem/wnd)