Surat cinta ini adalah salah satu surat yang diikutsertakan dalam Lomba Menulis Surat Cinta Vemale.com.
***
Kepadamu, Tuan puisi.
Ayah dari anak-anak kata dan anak-anak kita.
Surat ini hadir ketika aku membayangkan sebuah layar, memulai perjalanan kita yang kemarin dibalut suguhan chamomile tea dan bunyi hujan malam hari.
Waktu, ternyata berbaik hati membawaku kepadamu. Di sini, sesekali aku mengikuti jejak langkah kakimu pergi, seperti biasa—tentunya tanpa kau sadari. Sepertinya, ada gugusan debu di ingatan kita yang seperti kotak surat itu, tentang puisi, tentang kata, yang kau coba tulis juga—satu-satu di sana.
Aku, bahkan tak sabar menunggunya.
Entah, apakah kita hanya terus berjalan, sampai kaki-kaki tak kuat lagi melangkah. Sampai kata-kata tak ada lagi yang perlu disampaikan. Katamu: Di sini, hanya kosong. Aku bilang: Di sini memang kosong, tapi ada kamu dan aku untuk melengkapi kekosongan itu. Sempurnalah kita. Kamu hanya tersenyum, lalu aku melakukan pembahasan yang tak pernah dilunturkan oleh hujan.
Dalam surat ini, kita kerapkali membutuhkan banyak sesuatu, untuk mengerti sesuatu. Agar segala yang dibenturkan bernama kesedihan. Tidak kita lakukan secara berulang. Kau kerapkali berada dalam tempat yang tersembunyi. Seperti kopi, sepi dan puisi. Matamu yang jatuh cinta itu sewarna dengan jingga, waktu-waktu dimana langit penuh nada dan paling bahagia. Sedangkan bibirmu adalah bahagia paling abadi, dunia paling surgawi, menyala di sepi-sepi.
Kita hanya membicarakan perumpamaan, tentang gelombang harapan di lautan dan cinta yang selembut gambut laut. Tentang biru, tentang merah jambu dan warna lainnya. Sebab katamu, rindu juga bagian dari warna. Serupa dengan abu-abu tua dari ingatan nakal yang lelah berlari, namun tak juga mau berhenti. Entah kenapa, aku mulai akrab dengan kesendirian dan menjalar mencintaimu pelan-pelan.
Aku kerapkali menahan tubuhku agar tak terlalu jauh terjatuh, kecupanmu mengikat ulang seluruhku. Lampu jalanan, tiang-tiang taman kota, telah aku namai atas dirimu. Supaya kau dan aku, ikut menyala di ruang paling sepi yang tak pernah terjangkau siapa pun.
Hingga aku, akan selalu membacakanmu sebagai bagian dari aku.
Setiap malam, kau datang menumpang cahaya bulan. Hawanya serupa lembab bibirmu yang basah, dan aku hanya butuh lagu “Everything will flow” untuk menggenapi birahi dan seluruhnya.
Di rumah dunia, kita kerapkali melihat seseorang seperti Hawa yang memakan buah khuldi dan diturunkan dari surga. Hal-hal terlarang menjadi hal paling “buru” untuk dinikmati. Tapi tidak denganmu sayang, rupanya hal yang halal dapat menjadi hal paling baik untuk kita memulai apa saja untuk dicintai di sekeliling kita.
Bahagia dan gelisah tanpa sebab terkadang menjadi perdebatan. Sesedih apa pun dirimu, semoga kita akan selalu ada untuk menggenggam peristiwa sama-sama. Setiap hari, maut selalu mengintai kita di segala tempat tanpa pernah ada seorang pun yang tahu. Walau pun semua indra yang tertutup berupaya ingin tahu. Hidup memiliki bunyi, mereka masih ada, masih ada. Dan cinta, memiliki janji yang terikat sampai lonceng kehidupan telah berhenti terdengar lebih dulu di antara kita.
Kita mengenal sebuah kitab dan ayat-ayat.
Menunggu utusan tiba. Membawa kabar musim yang berubah fungsi. Mengabarkan bunga yang menjadi layu dan kota gersang menjadi rimbun buah-buah dan pepohonan.
Bukankah dunia seperti tulisan, sayang?
Keduanya seperti pelabuhan. Tempat kita bersandar sebentar untuk melanjutkan perjalanan paling baru dan paling lama di kehidupan yang sebenar-benar Tuhan namai “Kehidupan”.
Menunggu, sampai kita melupakan tentang segala yang berdetak.
Cinta, tutup matamu.
Lewat sulur-sulur cahaya itu, dimanapun kita berada kau akan menemukanku, berdenyut pelan-pelan di jantungmu.
(vem/yel)