Kita Harus Berpisah Saat Kau Ingin Terbang Bebas Menembus Batas

Fimela Editor diperbarui 10 Feb 2017, 15:42 WIB

Surat cinta ini adalah salah satu surat yang diikutsertakan dalam Lomba Menulis Surat Cinta Vemale.com.

***

Kepadamu, belahan hatiku yang terlahir bebas.

Bagaimana kabarmu?

Doaku harimu diliputi bahagia dan syukur, dan tentunya senyuman. Aku akan bersedih jika kau bersedih pula. Hah, klise ya? Tapi tidak kok, waktu itu aku menangis di kereta dan beberapa hari sesudahnya, setelah melihat matamu memerah dan tertunduk di peron kala mengantarku terakhir kalinya. Apakah kau bersedih karenaku? Apakah karena rindu. Atau karena yang lain? Aah.. jika memang kau merindukanku saat itu, aku bahagia sekali, sungguh.

Sekarang, izinkan aku memberanikan diriku untuk sedikit mengingat masa lalu. Maaf, bukan maksudku melakukan hal yang kau tak suka, tapi yakinlah, saat itulah semuanya bermula.

J , ingatkah kau waktu kita masih sekedar senior-junior, kau ceritakan padaku impian dan tujuan hidupmu. Waktu itu anganmu tak seperti orang kebanyakan, mimpimu juga berada jauh di pemikiran orang-orang, dan tentunya tak masuk akal. Walau kataku waktu itu, “kau keren” , kita akhirnya terkekeh bersama. Kupikir itu hanyalah angan remaja biasa.

Lalu kau memutuskan mengambil kesempatan untuk menghadapi keberanianmu.

Waktu itu aku belum menyadari betapa beraninya engkau, betapa sesungguhnya kau adalah pejuang hidupmu, pejuang mimpimu di usia semuda itu. Berbeda denganku, walaupun usiaku lebih tua beberapa tahun, aku masih belum mengerti apa itu mewujudkan mimpi. Yang kutahu hanyalah kita akan terpisah jauh, sangat jauh.

How stupid am I? Betapa piciknya aku kala itu. Kupikir bisa kucegah karena perasaanku kepadamu, perasaan tidak rela, perasaan di mana aku menyebutnya ”sayang”. Sedihnya, aku tak bisa mencegahmu, sekuat apapun aku berteriak kepadamu, memohon sampai menundukkan badanku. Pada akhirnya aku tetap menangis kehilangan dirimu.

Sekarang, setelah kita dipertemukan kembali, saat aku melongok ke kehidupan yang kau pilih, betapa mengertinya aku, mengapa dahulu kau rela dituduh anak bodoh, anak yang tak tahu kehidupan dan anak yang bebal. Aku mengerti, karena aku bisa melihat binar di matamu saat kau bernyanyi, saat kau menggerakkan tanganmu dan saat kau melompat untuk menyoretkan kuas di atas semua karyamu.

“Inilah jalanku, inilah cara hidupku, inilah aku, aku bahagia,” itulah yang coba kau katakan padaku lewat kepalan tanganmu disela lompatan karyamu.

J, akhirnya aku melihat, kaulah jiwa yang bebas itu, yang dulu selalu kau bisikkan padaku saat melintasi jalan.

“Lihatlah jalan ini, suatu saat aku bukan hanya akan melewatinya, tapi aku akan terbang melaluinya, melalui semua jalan raya di dunia,”

How lucky you are, bisikku dengan mata memerah dan gemuruh bangga di dada. Banggakah aku? Ataukah sebenarnya aku iri karena kau bisa terbang bebas, sedang aku hanya menjejak berdiri di sini sambil memandang awan.

Maafkan aku, J, aku baru menyadari setelah aku dewasa, betapa sesungguhnya “rasa”-ku padamu dahulu itu bisa menjadikan aku tembok besar yang menghalangimu meniti mimpimu, menjadikanku ganjalan yang menyakiti dirimu. Walaupun kata orang-orang, cinta itu bisa membantu mencapai cita. Ha ha, kurasa itu tak terjadi antara kita.

Sesungguhnya, butuh keberanian besar untuk hidup di luar aturan, untuk berjalan di sisi yang lain, butuh kekuatan yang besar pula untuk bertahan, dan di sanalah kau sekarang, J. Di dunia yang kau ambil untuk hidupmu seterusnya, dan kupikir tidak salah bagiku jika kuputuskan hanya 6 bulan saja aku bisa ikut merasakannya.

Maafkan aku J, bukan karena aku tak menyukaimu lagi, bukan karena kau bukan yang aku cintai, malah sesungguhnya aku sangat menyukaimu, sangat, teramat sangat. Tetapi, hidupmu tidaklah sama dengan hidupku sekarang. Ya, aku menyukai tawa dan semangat dalam langkahmu sekarang, tapi bukan itu yang kuharap saat ini, bukan itu tujuanku.

Biarlah aku menyimpan memori dirimu yang tertawa lepas, bukan yang mengernyit heran ketika kita mencoba menyelaraskan langkah, atau diammu saat aku membeberkan aturan hidupku atau helaan napasmu saat aku keras kepala. Aku tahu kau mencoba mengerti pemahamanku, belajar mengerti apa yang aku mau.

Memang rasanya tak adil, baik itu buatku, ataupun buatmu, tapi aku masih ingat kejadian kau menangis dalam diam di lorong rumah, aku hanya bisa memandangmu dari jauh. Aku memang bukan peramal, tapi aku tahu, tangismu saat itu menandakan jika kau tertekan akan kita. Bagaimana aku tahu? Hey, hati dan insting wanita seringkali lebih tajam dari logika pria, kau harus tahu itu.

J, biarkan aku memilih ingatan debar rasa saat kau berlari menjemputku saat hujan, atau jejeran langkah kita dahulu saat bersama. Biarlah aku menyimpanmu sebagai cinta pertama sebagaimana yang aku ingat, cinta pertama yang indah dan malu-malu.

Ya, itulah kau bagiku, selamanya kau adalah lelaki pemberani, lelaki kuat dan lelaki hebat. Apa yang kau capai sekarang itulah bukti nyata kemampuanmu, indahmu dan adamu, berbanggalah atas dirimu sendiri.

Kaulah cinta pertamaku, J, dan akan tetap menjadi cinta dalam hidupku, beberapa tahun silam, tahun ini, tahun depan dan tahun-tahun sesudahnya.

 

Love you, J

 

Dariku, seniormu,

 

NB :

Doaku dilubuk hatiku, suatu saat jika dipertemukan kembali, aku akan tertawa menghadapimu. Suatu saat nanti J, semoga, karena walau kita masih di bawah langit yang sama, kita sungguh terpisah jarak dan waktu.

(vem/yel)

What's On Fimela