"Tiiiiiiiiiinnnn!!"
Klakson mobil yang memekakkan telinga itu ditekan kencang-kencang dengan penuh emosi, seiring dengan rem motor yang saya tarik dadakan penuh kekagetan. Di perempatan jalan itu, hampir semua pengendara motor dan mobil bersinggungan satu sama lain, tak ada yang mau mengalah. Maklum, lampu lalu lintas sedang mati dan polisi belum tampak batang hidungnya untuk mengatur kekacauan yang terjadi.
"Oooo, dasar wedok!" (Oh, dasar perempuan!) Pengemudi mobil itu membuka kaca jendela mobilnya, melemparkan makian pada saya dengan mata melotot. Pasalnya, di perempatan jalan yang padat dan kacau karena lampu lalu lintas sedang bermasalah, semua orang tidak mau mengalah. Hanya beberapa yang dengan kesadaran penuh memberikan sedikit jalan dan waktu beberapa detiknya untuk mempersilahkan pengendara yang lain mengambil jalan. Pada kenyataannya yang terjadi saat itu, justru sang pengemudi mobil itu menyela tak sabaran, di saat mobil dan motor dari arah yang sama dengannya, berhenti dan memberikan jalan untuk pengendara-pengendara dari arah berlawanan, termasuk saya.
Jika saya tidak waras saat itu, mungkin sudah saya kejar dan saya banting helm saya ke pintu mobilnya. Memang, tak sedikitpun kaki atau anggota badan saya yang lainnya yang tergores olehnya, pun dengan motor saya. Tapi yang melukai saya adalah lontaran makiannya. "Oh, dasar perempuan!". Saya merasa tak nyaman dengan makian yang harus membawa-bawa gender, apalagi untuk hal yang sama sekali tidak berhubungan dengan urusan kelamin.
Bukan cuma sekali saya mendengar makian itu di jalan, ataupun lewat meme-meme yang beredar. Misalnya, "Ketemu ibu-ibu bawa matic di jalan, kelar idup lo!" atau seperti meme di bawah ini.
Yang kita tahu, di jalanan kita bertemu dengan berbagai macam orang dengan karakteristik masing-masing. Laki-laki atau pun perempuan, semuanya tak ada yang sama untuk urusan menyetir kendaraan bermotor. Jika mungkin banyak ditemui para perempuan yang menyetir seenaknya sendiri, sen kanan belok ke kiri, tidak pakai helm, belok tanpa sen atau melawan arus, lantas bukan jadi 'pembenaran' untuk menggeneralisir, "Dasar perempuan, nyetirnya gak becus!" Padahal, yang melakukan hal-hal 'ajaib' di jalan bukan hanya perempuan kok. Bahkan, seringkali ditambah dengan cuitan-cuitan merendahkan, cat-calling di jalan atau saat berjajar, berhenti bersama-sama dengan perempuan pengendara kendaraan bermotor di sampingnya. (Baca tentang Cat-Calling: 'Pujian' Berbalut Kata-Kata Manis Yang Melecehkan)
Padahal banyak perempuan yang juga sadar akan perlunya berkendara yang baik. Bahkan, saya punya teman perempuan yang naik motor besar dan paham mesin-mesin motor, ketimbang teman-teman laki-laki yang lain. Jika memang ada oknum-oknum yang melanggar dan membahayakan orang lain di jalan, tegurlah tanpa perlu menyeret-nyeret gendernya. Sepanjang ingatan, saya jarang sekali mendengar makian, "Oh, dasar cowok!" saat perempuan bersinggungan dengan laki-laki yang menyetirnya nggak benar di jalan.
Jalan raya milik kita semua, milik perempuan dan laki-laki. Tak pernah ada makian berbau misandry, lalu mengapa perempuan harus selalu dibayangi dengan makian bernada misoginis saat di jalan?
Tulisan ini merupakan opini pribadi Winda Carmelita. Kenali lebih jauh Winda Carmelita di www.windacarmelita.com
(vem/wnd)