Saat Tangisan Tak Lagi Bisa Menjadi Takaran Dalamnya Perasaan

Fimela diperbarui 26 Jan 2017, 12:42 WIB

Pernahkah mendengar bahwa dalam setiap tangisan hanya terdapat 1 persen air mata dan sisanya yang 99 persen adalah perasaan? Ya, menangis adalah hal yang sangat wajar dan lumrah bagi manusia. Bahkan, konon menangis bermanfaat bagi kesehatan fisik dan psikis pelakunya. Selain menjadi pelampiasan mengurangi stress atau tekanan batin, mendinginan dan melumasi bola mata, ternyata saat menangis, tubuh manusia secara otomatis memproduksi hormon endorfin. Hormon ini bertugas memunculkan rasa rileks, lega dan bahagia. Perkara apakah tangisan yang dibuat–buat atau yang disebut sebagai ‘tangisan air mata buaya’ juga akan secara otomatis mengaktifkan hormon ini, sejauh pengetahuan yang ada belum ada penelitian untuk membuktikannya.

Menangis menjadi semakin jarang dilakukan seiring semakin dewasanya seorang manusia. Sedang di masa kanak–kanak, tangis adalah ‘pernyataan sikap’ yang seringkali dilakukan atas suatu kondisi yang terjadi pada diri mereka ataupun reaksi terhadap situasi di sekelilingnya. Lapar, tak nyaman, sakit, kecewa, cemas dan takut bahkan marahnya mereka dilampiaskan dalam wujud tangisan agar orang lain melihat dan segera memahaminya. "Sudahlah jangan menangis, seperti anak kecil saja," demikian biasanya sentilan seseorang kepada orang lain yang mudah menangis.

Menyoal tangisan, baru-baru ini masyarakat ramai membicarakan perkara tangisan kontroversial yang tak disangka-sangka keluar dari pelupuk mata seseorang yang menangis di hadapan hakim yang sedang mengadilinya atas sebuah kasus didakwakan padanya. Tangisan seorang terdakwa yang sedang mencoba membela dirinya, sembari berharap semua bisa memahami duduk permasalahan sesuai dari sudut pandang kaca matanya. Walau di ruang persidangan, menangis pun jadi wajar dan manusiawi karena seseorang menangis kadang juga merupakan perwujudan reflek otomatis tubuh saat kondisi pikiran dan hati yang sedemikian tertekannya oleh beban permasalahan yang sedang melibatnya.

Pertanyaan, pernyataan, simpati, empati, namun juga cemoohan kemudian bermunculan saat melihat tangisan itu. Tak perlu diceritakan sebab dan alasannya karena setiap orang berhak memiliki pendapat dan tak perlu untuk dipertentangkan. Apalagi menyangkut sebuah tangisan. Satu hal yang setidaknya melegakan adalah, bahwa ternyata dia yang menangispun ternyata adalah manusia. Manusia seperti kita semua. Yang dilahirkan dari rahim ibunya, dibesarkan oleh ibunya bersama bapaknya dan menjadi bagian dari keluarga, masyarakat dan lingkungannya. Kelegaan ini seolah menjadi jawaban atas rasa penasaran di dalam hati demi melihat kerasnya ia bicara dan tegasnya dia sebelum ini saat menjalani peran pentingnya. Sekilas jadi teringat ungkapan Johny Depp dalam sebuah dialog film yang dilakoninya,

“Sometimes a man cries not because he’s weak, but because he’s been strong for too long.”

Semua ada batasnya, semua ada masanya dan saat itu tiba tak seorang pun bisa menahan air mata yang jatuh menetes di pipi. Jika menyangkut 99 persen perasaan yang hadir di hatinya pada saat air matanya bercucuran di pengadilan, biarkan itu tetap menjadi misteri, karena jika menyangkut perasaan yang mengisi hati, semua pasti setuju kepada Bob Dylan,

“Heart is like the ocean, dark and mysterious”

Dituliskan oleh Yasin bin Malenggang untuk rubrik #Spinmotion di Vemale Dotcom. Lebih dekat dengan Spinmotion (Single Parents Indonesia in Motion) di http://spinmotion.org/

(vem/wnd)