Leo Tolstoy berkata, "Setiap kebohongan adalah racun. Tak ada kebohongan yang tak berbahaya. Hanya kebenaran lah yang aman. Hanya kebenaran lah yang memberikan penghiburan dan kebenaran adalah berlian yang tak terpatahkan."
Satu cerita epik tentang kebohongan yang selalu saya kenang semenjak saya kecil, yang saya dapatkan dalam cerita perwayangan adalah kebohongan pertama kalinya si Sulung Pandawa, Yudhistira alias Puntadewa. Untuk pikiran anak kecil di masa itu yang belum banyak melihat pementasan visual apalagi belum ada era digital, saya terpaku kuat pada kata – kata dalang yang bercerita, “... saat Yudhistira mengiyakan berita bohong hasil rekayasa Sri Krisna tentang kematian Aswatama kepada ayahnya, Resi Dorna. Resi Dorna pun mengurungkan niatnya melawan dan akhirnya terbunuh oleh Pandawa. Maka sejak itulah kereta tunggangannya yang sebelumnya selalu mengambang di udara, jatuh ke bumi dan menapak di tanah.”
Yudhistira, yang sepanjang hidupnya tak pernah berbohong, dihormati oleh para suci bahkan dipuja dan dijunjung tinggi oleh para dewata sekalipun, akhirnya di-manusia-kan oleh kebohongannya sendiri. Konon kekecewaan para dewata dan alam semesta atas kebohongan pertama Yudhistira melebihi kesedihan mereka akan hancurnya dunia karena Perang Baratayudha.
Bohong dalam adegan ini memang bertujuan untuk memenangkan ‘kebaikan’, bohong dalam cerita wayang ini seolah memang mendapatkan dispensasi karena Sri Krisna, Sang Penjaga Kedamaian lah yang merekayasanya. Bohongnya Yudhistira memang terjadi di saat strategi tipu muslihat adalah senjata terbaik untuk memenangkan perang. Namun, satu pertanyaan yang muncul dari benak saya semenjak itu hingga kini adalah, "Apakah sebuah kemenangan perang sepadan dengan kebohongan pertama yang dilakukan oleh seorang Yudhistira?"
Lalu sayapun berpikir, setelah yang pertama, Yudhistira akan menjadi manusia sewajarnya, yang dengan mudah lalu melakukan kebohongan–kebohongan selanjutnya. Kenapa tidak? Toh dia sudah menjadi ‘manusia seutuhnya’.
Jika kembali kepada kalimat Tolstoy di atas, maka racun dari kebohongan, sebenarnya adalah justru racun yang harus ditenggak oleh pihak yang berbohong dan bukan yang dibohongi. Resi Dorna, mati perlaya di medan Kurusetra, setelah mengetahui anak yang disayanginya meninggal dari mulut Yudhistira. Yudhistira, orang yang paling dipercayainya karena tak pernah berbohong. Ia pun merasa tak ada gunanya lagi melawan lalu terbunuh dengan mudahnya oleh Pandawa. Ia akhirnya mati secara ksatria karena membela tanah airnya. Dia mendapatkan berlian di akhir cerita hidupnya. Bagaimana dengan Yudhistira? Dia melanjutkan hidupnya dalam penyesalannya sebagai ‘manusia’, bukan lagi makhluk suci yang dipuja–puji seluruh alam semesta dan para dewata.
Entahlah, itu hanya cerita. Walau cerita pun selalu memiliki arti dan makna. Sejak malam itu, saya berpikir, mending menjadi Resi Dorna, manusia terlicik yang akhirnya terbunuh oleh kebohongan seorang manusia tersuci dan mendapatkan ganjarannya sendiri, ketimbang menjadi Yudhistira yang kehilangan hak kesuciannya karena sebuah kebohongan yang akhirnya menjadi racun yang ditenggaknya.
Dituliskan oleh Yasin bin Malenggang untuk rubrik #Spinmotion di Vemale Dotcom. Lebih dekat dengan Spinmotion (Single Parents Indonesia in Motion) di http://spinmotion.org/
- Rengkuhan Tangan Kecil Tak Terlihat Dalam Doa Penyambung Nyawa
- Secercah Rasa Ingin Tahu Mengawali Pagi Hari di Tahun Yang Baru
- Smile Like Monalisa: Cerita Di Balik Legenda Senyuman Monalisa
- Salah Sebut dan Salah Ucap Berujung Hadiah Pizza 'Pijahat'
- Sambut Tahun Baru & Masa Depan yang Selalu Bikin Penasaran