Menyoal Perkara Berhijab, Tidak Berhijab, dan Sikap Menghakimi

Fimela diperbarui 06 Jan 2017, 14:30 WIB

Pernahkah kita diam-diam menghakimi orang lain yang kita tidak kenal sama sekali karena penampilannya?

Saya sih sejujurnya, bukan hanya sekali. Mungkin tiga atau empat kali yang saya ingat. Baiklah, mungkin lebih dari itu.

“Ah, jalannya seperti orang kesakitan, high heels-nya terlalu kecil.”

“Mbak ini kelihatan nggak nyaman duduknya, lagian kenapa pakai rok mini kalau tidak terlalu pede?”

Kalau pemikiran semacam di atas, rasanya masih dalam batas wajar dan sangat manusiawi. Bahkan banyak orang pintar yang mengatakan, "Being judgmental is inherently human."

Jadi bukan judgement yang jahat dan saya yakin banyak dari pemikiran-pemikiran sekilas itu hanya kita simpan dalam hati dan tidak terwujud dalam bentuk sikap, perilaku atau bahkan kata-kata yang terucap. Dianggap manusiawi karena manusia memang judgmental kalau dia harus mempertimbangkan satu posisi atau sudut pandang akan satu persoalan. Menimbang dan lalu mengambil sikap. Tanpa menjadi judgmental,tidak mungkin ada satu kesimpulan akan sebuah masalah.

Tetapi tunggu dulu, jangan-jangan, pandangan mata kita yang tanpa sadar "menghakimi". Diam-diam dengan intens mengirim sinyal-sinyal ke orang-orang yang "dihakimi" sehingga muncul prasangka-prasangka dari orang-orang itu. Dalam kasus yang ekstrem, pandangan yang menghakimi bahkan bisa meruntuhkan rasa percaya diri, meningkatkan rasa curiga pada orang lain dan munculnya rasa kebencian bahkan dendam kesumat.

Masih dalam batas wajar dan manusiawi, bukan judgementyang jahat memang dan saya yakin kebanyakan juga kita simpan dalam hati dan tidak terwujud menjadi sebuah sikap atau perilaku. Yang kita tidak sadar adalah, mungkin pandangan mata yang diam-diam "menghakimi” mengirim sinyal-sinyal ke orang-orang yang “dihakimi” ini sehingga muncul pemikiran-pemikiran yang tidak kita sangka. Dalam kasus ekstrem, pandangan yang menghakimi bahkan bisa meruntuhkan rasa percaya diri, meningkatnya rasa curiga pada orang lain dan bahkan munculnya rasa kebencian.

Paling tidak itulah pengakuan neng Dian Yulia Novi, yang baru-baru ini ditangkap Densus 88 sebelum meledakkan dirinya dengan racikan peledak dalam magic jar.Dalam wawancaranya dengan sebuah TV swasta, Neng (begitulah Dian menyebut dirinya) terdengar punya rasa percaya diri dan cepat menanggapi pertanyaan dan pernyataan pembaca acaranya.

Sepotong jawabannya (saya salin kata per kata dari rekaman pembicaraan tersebut) berbunyi seperti ini:

“…sekarang kita ambil contoh, di tengah masyarakat kita sebagai mayoritas Islam, Indonesia adalah negara mayoritas Islam, iya bukan? Mayoritas Islam, apakah semua melakukan shalat, kita nggak tahu? Apakah mereka bercadar, bercadar di sini sedikit, tapi di sini bercadar tidak dilarang, tidak seperti di negara-negara lain. Bila saya berjalan dan bercadar, pasti mereka anggap aneh. Ah, ini asing tapi kalau kita pakai jilbab, pakai jeans ataupun lekuk tubuhnya kelihatan, orang asyik saja melihatnya.

Mayoritas tapi merasa aneh melihat orang bercadar.”

Sedikit catatan, yang pasti Indonesia adalah negara mayoritas Muslimm bukan Islam neng, iya bukan? Islam itu agamanya, pemeluknya ya Muslim, iya bukan? Beruntung dia, bukan saya yang wawancara.

(vem/nda)
2 dari 2 halaman

Saya Percaya Urusan Beragama Itu Sangat Personal

Ilustrasi. | Foto: copyright Unpopulart - Arum

Kita tidak akan sentuh-sentuh pertanyaan Neng Dian soal apakah mayoritas Muslim Indonesia menegakkan shalat apa tidak, banyak ahli di luar sana yang bisa mengupasnya.

Yang menarik buat saya dari pernyataan neng Dian adalah walaupun cadar tidak dilarang tetapi dia merasa orang menganggap dia aneh.

[startpuisi]Wartawan Republika Nashih Nasrullah pernah menulis tentang apa hukumnya bercadar. Dia membuka tulisannya dengan “penampilan ‘ala ninja’ sebagian Muslimah memang mengundang perhatian sejumlah kalangan. Sebagian masyarakat bahkan menganggap hal itu sedikit aneh, bahkan cenderung memandang fenomena itu sebelah mata.”

Kalimat pembuka itu saja sudah menjadi semacam pengakuan bahwa sebagian orang memang menganggap aneh penampilan ala ninja yang merupakan pemandangan sehari-hari bahkan menjadi norma bermasyarakat di negeri-negeri Timur Tengah.[endpuisi]

Dalam artikel itu, disebutkan juga bahwa ketua Persatuan Ulama sedunia Syekh Yusuf al-Qaradhawi mengeluarkan fatwa pada 1995 soal hukum menutup keseluruhan muka dengan menyisakan kedua mata atau bahkan menutup total. Jelas disebutkan bahwa perdebatan menyoal cadar masuk ranah ijtihad yang artinya ulasan tentang hal tersebut tidak akan pernah selesai selama indikator perbedaan cara pandang dan metode pengambilan hukum atas dalil yang dipakai berbeda. Singkatnya,”Saling hormati, jangan dipertentangkan.”

Sangat sepakat. Dan itulah sikap yang harus terus kita ambil.

Selama ini banyak teman dan bahkan saudara-saudara yang mendapat hidayah dengan menutup kepala dan mulai mengenakan hijab, jilbab baik yang syar’i dan yang biasa saja.

Bohong kalau saya bilang saya tidak ada rasa ingin tahu. Bagi saya, keputusan untuk berhijab itu tidak semudah membeli ciput, jilbab dan long dress, ini bukan perkara mudah, banyak konsekuensi, baik dalam tindakan, ucapan dan paling penting hati, menurut saya ya.

Setiap kali ada orang-orang dekat yang memulai berhijab dan ada keinginan untuk bertanya mengapa dan bagaimana hidayah itu datang, saya memilih untuk tidak meneruskan pertanyaan itu, karena menurut saya hidayah apapun itu bentuknya sangat pribadi dan mungkin sebaiknya kita terima saja keputusan teman atau saudara untuk berhijab.

Mereka tidak membutuhkan pertanyaan-pertanyaan untuk meyakinkan atau menguji keputusan mereka. Lain cerita jika memang mereka ingin berbagi.

Saya percaya bahwa urusan beragama atau berkeyakinan harusnya sangat personal. Dan praktik-praktiknya tidak dijadikan ukuran untuk menimbang layak atau tidaknya seseorang serta baik buruknya seseorang.

Dan setelah mendengar wawancara Neng Dian, tersangka pengantin bom panci di televisi tersebut, terbesit di benak saya kalau Neng pun sebenarnya diam-diam juga menghakimi orang-orang tak berhijab atau yang tidak mempraktikkan agama atau keyakinan yang sama dengan Neng. Semoga belum terlambat ya kalau kita minta Neng Dian untuk tidak peduli dengan pikiran orang lain akan keyakinannya beribadah. Toh, tidak pernah ada orang yang akan menghentikan Neng Dian ketika berjalan dengan cadarnya di tempat umum dan mengatakan, “Ih, kamu aneh."

Dan masak hanya karena merasa dipandang aneh oleh orang-orang sekitar Neng memutuskan untuk mengambil jalan panci, eh pedang memerangi apa yang tidak benar di mata Neng?

----

Artikel ditulis oleh Gincu Merah, ibu bekerja dan sahabat Vemale.

[pos_1]