Dulu Aku Sangat Takut Melahirkan, Ternyata Bahagianya Luar Biasa

Fimela diperbarui 01 Jan 2017, 09:23 WIB

Bagi beberapa perempuan, mendengar cerita sakitnya melahirkan atau melihat adegan melahirkan bisa menyebabkan trauma. Salah satu sahabat Vemale, Dwijayanti, juga mengalami hal yang sama. Inilah kisahnya hingga dia melahirkan dengan sedikit 'drama'. Kisah ini merupakan salah satu kisah untuk Lomba Menulis Bangga Menjadi Ibu.

***

Dulu, ketakutan terbesarku sebagai seorang perempuan adalah bagaimana sakitnya nanti jika melahirkan. Alasan ini bukan tanpa alasan, sebab setiap film atau sinetron yang menampilkan adegan melahirkan selalu dipenuhi jeritan histeris pemeran wanitanya. Maka timbul mindset bahwa "Melahirkan itu Menyakitkan". Hingga tiba waktunya saya menikah di tahun 2008, pikiran bahwa melahirkan itu luar  biasa sakit masih menghantui.

Tiga bulan setelah menikah, saya positif hamil. Bahagia di satu sisi, tapi di lain sisi saya dilema. Hal itu mendorong saya memperbanyak membaca buku dan artikel referensi tentang kehamilan dan proses melahirkan. Semua saya lakukan karena tidak ingin dihantui ketakutan-ketakutan.

Kehamilan saya berjalan lancar dan normal. Namun suatu hari saat kandungan sudah masuk usia 7 bulan, saya melakukan USG ke dokter kandungan. Dari situlah drama kehamilanku dimulai.

Vonis Dokter Kandungan Sangat Mengejutkan

Kata dokter, usia kandungan saya sebenarnya sudah tua dan bulan depan saatnya melahirkan. Terus terang saya tidak percaya, karena jika dihitung dari haid terakhir, waktu melahirkan saya masih 2 bulan lagi. Namun, karena saya menganggap dokter itu sudah ahli, saya pasrah meminum vitamin dan obat yang diresepkan.

Hari prediksi dokter tiba, namun saya tak kunjung menunjukkan tanda akan melahirkan. Dengan kondisi itu, saya diberi obat-obatan yang bisa merangsang kontraksi. Dari situlah saya mulai ragu dan lebih mempercayai insting saya. Ada satu saat dimana saya muak dan membuang semua obat yang ada.

Keluarga suami tidak cukup membantu, mereka malah mencarikan air ke Kyai untuk saya minum agar cepat melahirkan. Gusti Allah, saya minta kekuatan untuk bertahan. Saya benar-benar mengalami depresi, dimana tidak ada lagi yang mempercayai insting saya kecuali kedua orangtua saya.

Suatu malam saya dipaksa suami untuk opname saja di rumah sakit agar diambil tindakan induksi medis/operasi. Saya menangis sejadi-jadinya. Saya tidak mau operasi, saya ingin melahirkan normal. Saya tidak bisa membayangkan perut ini dibelah pisau bedah.

Dengan dukungan kedua orangtua, saya meminta waktu semalam itu saja. Jika besoknya tidak ada tanda kontraksi, saya bersedia dioperasi. Akhirnya suamiku setuju. I really hate my husband at that moment.

Ternyata Melahirkan Itu Rasanya..

Saya menangis sambil berdoa pada Gusti Allah semoga ditunjukkan kekuasaan-Nya. Maha Besar Allah, keesokan harinya saya merasakan mulas. Sepertinya saya sudah merasakan kontraksi. Dan benar insting saya, menurut bidan yang memeriksa saya sudah pembukaan 1.

Apakah setelah itu drama ini berakhir bahagia? Ternyata belum! Kontraksi berjalan 3 hari 2 malam dan sangat menguras tenaga. Pada hari ke-3 air ketuban pecah. Bidanpun mulai membimbing saya untuk mengejan, namun kata bidan cara mengejan saya salah. Kepala bayi sudah keluar, namun saya tak sanggup lagi meneruskannya.

Akhirnya saya dibawa ke dokter kandungan (yang berbeda dengan saat USG dulu), karena dokter yang dulu kebetulan sedang keluar kota (saya sangat bersyukur karena trauma dengan hasil USG beliau). Alhamdulillah saya tidak operasi caesar, namun dengan tindakan "vacuum".

Tidak sampai setengah jam prosesnya, bayi yang saya nantikan akhirnya lahir ke dunia dengan sempurna dan selamat. Mendengar suara tangisannya, segala rasa sakit, perih, ketakutan, kemarahan, dan segala emosi negatif lainnya mengabur hilang. Saya telah menjadi seorang IBU. Ya, seorang IBU. Benar-benar seperti sebuah keajaiban. Saya bangga telah berhasil melahirkan secara normal meskipun dengan bantuan "vacuum".

Ada point yang harus diketahui seorang perempuan yang menjadi calon IBU. Ternyata melahirkan itu sama sekali tidak sakit. Yang sakit adalah saat mengalami kontraksi. Dari pembukaan 1 sampai lengkap 10 itulah yang menyakitkan. Kalau pernah mengalami mulas saat haid, mirip seperti itulah rasanya. Dari mulas yang datangnya beberapa jam sekali, hingga konstan menjadi beberapa menit sekali jika pembukaan sudah lengkap. Itupun masih ada bonus rasa nyeri di punggung belakang.

Konon, jika anaknya cowok, rasanya lebih menyakitkan. Benar, saya merasakan pinggang seperti mau putus karena nyerinya. Tapi, saat tiba waktu untuk mengejan, semua nyeri dan sakit seperti hilang. Dan saat sudah berhasil melahirkan, semua nyeri hilang seketika.

Trauma Saya Sudah Hilang

Secanggih apapun alat medis, masih kalah canggih dengan kekuatan Gusti Allah. Salah saya saat itu tidak melakukan USG ke dokter lainnya untuk perbandingan. Maklum saja, saat itu saya masih belum mempunyai cukup uang dan masih sangat awam tentang kehamilan.

Insya'allah jika saya diberi kepercayaan hamil lagi, saya akan lebih berhati-hati lagi dalam memilih dokter kandungan. Sebaiknya memilih dokter yang track recordnya minim untuk tindakan operasi caesar jika menginginkan melahirkan secara normal.

Sekacau apapun drama kehamilan, saya tetap bersyukur bayi saya telah tumbuh menjadi bocah yang sehat dan lincah. Bayi yang lahir dengan tindakan "vacuum" konon bisa merusak otak si bayi. Namun Alhamdulillah anak saya tumbuh normal. Kini dia sudah kelas 2 SD dan saya rindu untuk menimang bayi kembali. Sepertinya trauma saya sudah hilang. I'm really proud to be a mother.

(vem/yel)