Setiap wanita pasti tak pernah terbayangkan, seperti apa sih jadi ibu itu. Tapi kamu akan banyak belajar setelah mengalaminya sendiri. Ini juga yang dialami Luv Septiana yang mengirimkan ceritanya dalam Lomba Bangga Menjadi Ibu.
***
Saya dibesarkan dengan penuh cinta kasih dalam keluarga. Oleh orang tua yang sangat memperhatikan pendidikan anaknya, sehingga saya bisa lulus sarjana pendidikan dan menjadi seorang guru.
Tapi kehidupan saya berbalik setelah saya menikah dengan seorang anggota TNI yang mengharuskan saya memilih antara karir dan rumah tangga saya. Di mana akhirnya saya mantap memilih untuk menjadi ibu rumah tangga sepenuhnya. Fokus mengurus anak dan suami, meninggalkan pekerjaan yang telah saya jalani kurang lebih 2 tahun.
Anak pertama kami lahir setelah pernikahan kami berusia 1,5 tahun. Saya memberi ASI penuh, dan menyapihnya lumayan susah. Pernah sebulan rewel karena lepas ASI. Orang tua saya sudah memberi kode pada saya untuk bekerja lagi, kata mereka ’sayang sudah kuliah tapi nggak kerja'. Namun rencana Allah itu nggak ada yang tahu, saya malah hamil anak kedua. Padahal anak pertama masih umur 2,5 tahun.
Tidak mudah awalnya menerima kabar berita tersebut. Bahkan untuk ibu saya, sempat saya didiamkan selama sebulan karena merasa kasihan anak pertama saya masih kecil. Sebab semua itulah saya bertekad untuk benar-benar mandiri mengurus keluarga kecil saya.
Setelah anak saya yang kedua berumur 40 hari saya bawa kembali ke kota tempat dinas suami saya. Untunglah, saya punya suami yang pengertian dengan pekerjaan rumah tangga, setiap hari ia rela bangun lebih pagi daripada kebiasaan sebelumnya. Membantu mengurus rumah tangga saat saya repot dengan kedua anak, apalagi yang kedua juga mengonsumsi ASI penuh.
Karena jarak yang relatif dekat, saat kakaknya masuk PAUD, setiap hari adiknya saya ajak antar jemput. Banyak cerita menarik di balik ‘kerempongan’ setiap pagi. Sering hampir terlambat, terkadang juga membolos, namun dimaafkan atas kerepotan saya waktu itu. Belum lagi kalau suami tiba-tiba harus tugas luar kota, bahkan kadang luar pulau, berlayar dan sebagainya.
Sering pekerjaan lain menjadi terbengkalai kalau mereka berdua sakit. Yang satu merajuk, yang satu minta ‘nenen’. Badan tak terurus, fashion, tren, atau apalah-apalah sudah nggak masuk ‘list’ hidup saya. Saat si kakak rekreasi pun, adik tak bisa saya tinggal, lagi-lagi karena cuma mau ASI. Sering asam lambung saya kambuh, sakit maag, masuk angin karena terlalu lelah mengurus semua sendiri.
Kemampuan, pendidikan, pengalaman saya seperti betul-betul diuji saat-saat ini. Harus bisa membagi kasih sayang antara dua anak yang sama-sama perempuan. Harus bisa membagi waktu antara mengurus rumah dengan mengurus anak dan suami. Dari pihak keluarga bukannya tidak ada bantuan. Tidak sekali dua kali ibu maupun mertua menawarkan diri untuk mengurus kakak atau adik di desa.
Tapi semua tidak menggoyahkan tekadku untuk bisa mandiri, mengurus keluargaku tanpa terpisah-pisah. Setiap hari rasanya seperti perjuangan, saat menyelesaikan setiap pekerjaan bagaikan melawan musuh. Lebay mungkin kedengarannya, tapi nyata saya alami.
Namun seiring berjalannya waktu, sekarang kakak sudah 5 tahun dan adik hampir 2 tahun. Melihat mereka berdua tumbuh dengan sehat, ceria, dan bahagia, semua penat dan lelah seperti sirna. Yang ada hanya kebanggaan dalam diri, karena bisa mengasuh dua anak balita sendiri dengan semua cerita seru di baliknya.
Yah...meskipun kisah seperti ini bukan hanya saya yang mengalaminya. Kebanggaan menjadi ibu benar-benar saya rasakan. Saya jadi bisa memahami betul, kenapa surga di telapak kaki ibu.
(vem/feb)