Demi Bisa Memasak, Saya Sampai Konsultasi ke Psikolog

Fimela diperbarui 29 Des 2016, 13:20 WIB

Saat menjadi seorang ibu, seorang wanita akan dihadapkan pada sejumlah pilihan. Dan pastinya juga dihadapkan pada banyak perubahan. Perubahan yang mau tak mau harus dihadapi dan tetap berjuang melakukan yang terbaik untuk anak dan suami. Seperti kisah yang ditulis sahabat Vemale ini untuk mengikuti Lomba Bangga Menjadi Ibu ini. Ia menceritakan soal perjuangan untuk bisa memasak dan membahagiakan keluarganya.

***

Halo, perkenalkan nama saya Sari. Seorang perempuan idealis yang melepas karier dan menggantungkan ijazah S2-nya untuk menjadi ibu penuh waktu dari seorang putri. Usia putri saya saat itu sekitar 20 bulan, saat saya mengambil keputusan berat ini. Alasannya, saya merasa tidak memiliki support system yang baik untuk membesarkan seorang anak menurut idealisme saya di tempat saya tinggal saat itu.

Satu-satunya support system terbaik, yaitu suami, tinggal di kota yang berbeda. Akhirnya saya dan baduta saya pindah mengikuti suami ke kota yang tidak saya akrabi dalam kondisi seadanya. Modalnya nekat dan intuisi bahwa saya tahu dan bisa memberikan yang terbaik untuk anak saya.
Di tempat yang baru ini, saya berusaha mencapai idealisme saya yang belum tercapai soal pengasuhan anak. Salah satunya mengenai asupan makanan yang seimbang dan bergizi untuk anak.

Saya akui proses peralihan dari ASI sampai makanan padat anak saya tidak berjalan mulus. Browsing sudah, membeli aneka buku resep sudah, dibaca sudah, prakteknya? Hmm, beli saja peralatan memasaknya dulu deh, hehehe. Iya, di sini saya baru menyadari bahwa memasak adalah salah satu kegiatan yang “bukan saya banget”. Suruh saya mencuci dan menyetrika satu lemari, menyikat kamar mandi, atau menyapu dan mengepel, akan saya kerjakan dengan senang hati. Tapi demi idealisme saya, saya tidak punya pilihan lain. Saya harus bisa memasak. Anak saya sedang pesat bertumbuh, perlu asupan sehat dan bergizi.

Belajar kilat, learning by doing, trial and error memasak itu ternyata menjadi sesuatu yang sangat melelahkan buat saya, sampai-sampai memaksa saya memeriksakan keadaan psikis saya. Pengalaman masa lalu yang kurang baik tentang memasak, depresi setelah melepas pekerjaan yang saya sukai, ditambah idealisme saya tentang masakan untuk anak seperti di buku-buku resep itu berkontribusi terhadap yang namanya kegiatan memasak. Saya, seorang ibu yang saking inginnya bisa memasak untuk anaknya lalu berkonsultasi ke psikolog. Tidak ada yang bisa dibanggakan sampai titik ini (menurut saya).



Yang bisa saya banggakan adalah sekarang ini, masakan saya sudah memiliki cita rasa yang khas yang dikenali dan disukai oleh suami dan anak saya. Masakan yang saya masak selalu habis tandas. Dan jika dihadapkan pada pilihan makanan, anak saya lebih memilih masakan mama, “Mama masak aja," ujarnya. “Hmm... masakan mama wangi." “Masakan Mama enak ya, Terima kasih ya Ma, udah dimasakin," menjadi penghargaan tertinggi dari anak dan suami buat saya. Beda sedikit ya antara bangga dan sombong. Hehehe, tapi jangan dibayangkan masakan saya nampak seperti gambar-gambar di buku resep atau postingan ibu-ibu yang hobi memasak di media sosial.  Ah, saya masih iri dengan mereka.

Meskipun begitu, saya bangga menjadi Ibu. Menjadi Ibu telah memaksa saya bisa memasak. Benar kata Linda Woten, "Being a mother is learning about strength you didn’t know you had, and dealing with fears you didn’t know existed."




(vem/nda)
What's On Fimela