Meski Bukan Gadis Kuat, Ku Tak Mau Terlihat Cengeng di Depan Ayah

Fimela diperbarui 29 Nov 2016, 11:10 WIB

Di depan Ayah, kita akan berusaha terlihat baik-baik saja. Meski ada banyak hal yang ingin diceritakan, terkadang kita masih lebih memilih untuk menceritakan yang baik-baik saja pada Ayah agar ia tak khawatir. Seperti kisah yang ditulis sahabat Vemale untuk Lomba Menulis Spesial Hari Ayah ini.

***

Di balik temaram lampu jalanan kotaku kini, banyak rindu tertahan yang terus menyergapku, rindu yang teramat sangat kepada laki-laki yang sangat aku cintai. Dia Ayahku, lelaki sederhana, pendiam tetapi sangat protektif kepada anak-anaknya.

Ayahku bukan tipe orang yang banyak bicara, tetapi dia adalah pendengar yang baik. Jika aku mengutarakan banyak hal kepada ayah, menyampaikan semua keinginanku, bercerita tentang teman-temanku, atau hanya sekedar menceritakan hal yang biasa-biasa saja, maka Ayah akan mendengarkanku dengan seksama dan sesekali menghadiahkan tawa di antara cerita lucuku.

Sedari kecil aku suka dibawa Ayah kemana saja, bahkan Ayah juga sering membawaku ke sawah jika musim panen tiba. Ya Ayahku adalah seorang petani, yang bekerja dengan tenaganya untuk menggarap sawah orang. Meskipun Ayah hanya seorang petani tetapi Ayah ingin semua anaknya bisa memakai toga dan menyandang gelar sarjana.

Saat Ayah bekerja maka aku akan menunggunya di tepi pematang hingga selesai, dan ketika waktunya pulang aku akan minta digendong Ayah. Ayah menyanggupinya tanpa menghiraukan letihnya setelah seharian bekerja. Aku juga sering menonton TV dengan Ayah sampai aku terlelap di depan TV. Kemudian esok paginya aku akan meminta Ayah menceritakan kembali siaran TV tadi malam dan Ayah dengan senang hati menyanggupinya.

Ketika beranjak dewasa aku harus mulai hidup sendiri di luar kota untuk bekerja. Ayah tidak pernah meneleponku duluan karena Ayah pikir akan mengganggu kesibukanku. Tetapi ketika aku menelepon ke rumah dan berbicara dengan Ibu dan adik-adikku, maka Ayah akan selalu meminta Ibu memasang loudspeaker handphone.

Ayah kangen suaraku, kata Ibu waktu itu. Ah ayah... lelaki pendiamku yang sebenarnya rindu tapi kaku untuk mengutarakannya. Aku juga rindu Ayah, rindu untuk menceritakan banyak hal denganmu. Bagaimana pekerjaanku di sini, teman-teman baruku, rutinitas tiap hariku yang melelahkan. Namun ketika perlahan kudengar suara Ayah di seberang telepon, maka lidahku tiba-tiba menjadi kelu untuk menceritakan keluhan-keluhanku.

Aku hanya menceritakan semua yang menyenangkan di sini, Ayah akan terus mengkhawatirkanku jika aku menceritakan bagaimana perjuangan susahnya berebutan naik kereta agar tidak terlambat berangkat kerja, bagaimana letihnya long weekend masih harus berkutat di depan layar komputer. Aku tidak ingin terlihat cengeng meskipun Ayah tetap menganggapku putri kecilnya, itulah alasan kenapa aku sering merindukan Ayah.

Saat menunggu kereta di stasiun, saat memulai rutinitas di depan komputer, pulang bekerja, makan malam sendirian adalah saat saat di mana aku memupuk banyak rindu untuk Ayah. Beberapa ingatan masa kecil bersama Ayah sering bersliweran di ingatanku. Ayah yang selalu menjahitkan sepatu sekolahku ketika robek. Ayah yang selalu mengiyakan mauku untuk membeli nilai-nilai di raporku ketika kenaikan kelas. Ayah yang sering diam-diam mengisi celenganku ketika punya uang lebih. Ayah juga yang selalu membuatkan aku rebusan daun pepaya muda ketika aku mengeluh kesakitan saat datang bulan, dan Ayah yang sering menguping pembicaraan jika teman cowokku datang berkunjung ke rumah.

Sejujurnya aku bukan gadis yang kuat harus hidup sendiri di perantauan, kadang saat kesepian aku rindu bercerita banyak dengan Ayah. Rindu untuk bergelayut manja di lengannya, menyandarkan semua lelah di pundaknya, mendengarkan kelakarnya, tertawa lepas sambil duduk bersama di pelataran samping rumah memandangi hamparan padi yang mulai menguning, mendengar kicau burung pipit yang saling bermigrasi dari pohon ke pohon hingga senja menjelang. Aku merindukan semua itu dengan Ayah sekarang.

Tapi tatkala kuingat lagi semua nasihat Ayah ketika melepasku di bandara setahun yang lalu, aku yakin kembali bahwa di sini di pulau Jawa aku berjuang untuk masa depanku. Ayah ingin aku menjadi lebih baik darinya. Meski aku menahan rindu yang menahun, tetapi aku berjanji untuk menjadi anak yang membanggakan Ayahku.

Kuambil ponselku yang tergeletak di samping meja kerjaku, kupencet nomor Ayah. Hari ini adalah Hari Ayah Nasional, bukankah aku harus mengucapkan selamat hari ayah dan juga mengucapkan terima kasih atas kasih sayang ayah kepadaku? Ayah, Selamat Hari Ayah, ya.

Jakarta, 12 November 2016

Aulia Pratiwi Desrita

(vem/nda)
What's On Fimela