Ayah, kadang ada beberapa perempuan yang tidak pernah tahu bagaimana rasanya memiliki seorang ayah. Salah seorang Sahabat Vemale bernama Zahra, menuliskan sebuah surat untuk yang yang tidak pernah dia rindukan, namun tidak juga ia benci. Surat ini adalah bagian dari Lomba Menulis: Ayah, Aku Rindu.
***
Saat aku harus membicarakan tentang Ayah, aku tidak pernah tahu apa yang harus aku katakan tentangnya. Meski aku mengenal sosok Ayahku, namun aku tidak pernah tahu bagaimana rasanya disayang olehnya. Ia telah pergi meninggalkanku dan Ibu, sejak aku belum genap berusia satu tahun. Aku hanya tahu bahwa seorang anak pasti memiliki Ayah selain Ibu, tapi aku tidak pernah tahu bagaimana rasanya hidup bersamanya. Aku tak pernah bisa membayangkan bagaimana rasanya dilimpahi kasih sayang yang tulus darinya. Bagiku, seorang Ayah itu absurd. Aku tak pernah merindukan kehadirannya dalam hidupku, tapi aku juga tak pernah membencinya.
Aku tak pernah bisa membayangkan bagaimana kedekatan seorang anak perempuan dengan ayahnya. Bagiku, Ayah itu tak pernah ada. Bukan karena aku ingin mengingkari fitrah kehidupan, tapi karena memang kenyataannya tak pernah ada sosok Ayah dalam hidupku. Aku tak pernah memiliki sosok ia yang selalu menguatkanku di saat rapuh. Aku tak pernah merasakan kehadirannya dalam keseharian hidupku.
Aku tak pernah menyicipi manisnya nafkah yang ia berikan untukku. Aku tak pernah tahu bagaimana caranya mencurahkan isi hati pada sosok bernama Ayah. Aku tak pernah merasakan bagaimana nikmatnya bermanja-manja atau bercengkrama bersama sosok yang katanya selalu kuat menahan beban apapun demi anak-anak yang mereka cintai. Karena mungkin, Tuhan tak pernah mengizinkan hal itu...
Maka dari itu aku bisa mengatakan dengan sadar, bahwa aku tidak pernah merindukannya sama sekali, tapi tidak juga membencinya. Aku tidak akan pernah bisa merindukan atau membenci seseorang yang tak pernah meninggalkan kenangan apapun dalam hidupku. Sekalipun ia adalah Ayahku…
Demikianlah, aku tak pernah bisa bercerita banyak tentang sosok yang katanya selalu dibanggakan oleh anak-anak mereka. Aku hanya bisa meneteskan air mata kala kuingat tentang dirinya. Pernahkah ia mengingatku? Mendoakanku? Memimpikanku? Pernahkah itu?
Terkadang aku merasa kuat untuk mengatasi sendiri semua masalah dan beban dalam hidupku. Namun ternyata aku sadar, ada saat di mana aku sangat membutuhkannya. Aku butuh pendapatnya, aku butuh sarannya, aku butuh kekuatan darinya. Aku.. rupanya aku membutuhkan dirinya.
***
“Ayah, dalam keterbatasanku untuk menemuimu, aku yakin Allah selalu menjagamu di manapun dirimu berada. Terima kasih karena telah mengantarkan diriku mengenal dunia ini. Mungkin aku tak pernah tahu, bahwa ada doamu dalam setiap jejak langkahku. Mungkin akan selalu ada harapmu dalam setiap desah napasku.
Ayah, aku tahu keadaan ini tak akan mungkin membuat kita bisa bersama. Aku pun juga tidak banyak mengharapkan hal itu. Tapi aku selalu berdoa semoga kita bisa bahagia dengan jalan hidup kita masing-masing.
Ayah, hidup bertahun-tahun tanpa dirimu bukanlah hal yang mudah untuk kujalani. Kepergianmu telah menyisakan luka yang mendalam di hatiku. Luka yang teramat dalam hingga aku sendiri tak tahu lagi bagaimana cara mengobatinya. Kepergianmu meninggalkanku dan ibu telah menciptakan ruang traumatis tersendiri dalam jiwaku. Aku… hampir selalu takut untuk jatuh cinta karena aku takut laki-laki yang kucintai kelak akan pergi meninggalkanku juga seperti kau meninggalkan aku dan ibu.
Namun Ayah, bagaimanapun keadaanmu, tetap ingatlah aku dalam hidupmu. Selalu doakanlah yang terbaik untuk buah hatimu ini. Aku pun juga akan selalu mendoakan kesehatanmu. Di mana pun engkau berada, semoga Allah senantiasa menjagamu. Meskipun aku tak pernah merasakan kasih sayang darimu, meskipun tak pernah ada rasa sayang yang teramat dalam di hatiku untukmu, tapi engkau adalah satu-satunya sosok yang mampu membuatku menangis bila aku mengingat tentangmu.
Ayah, maafkan aku yang tak pernah merindukanmu. Tapi apa kau tahu, Ayah? Aku begitu membutuhkanmu..”
(vem/yel)