Alkisah, ada janda miskin yang merebus batu sepanjang malam agar anaknya yakin seolah ibunya sedang memasak makanan yang tak kunjung matang. Sang anak menjadi lelah karena terlalu lama menunggu dan tertidur dalam lapar dan kantuk. Jika saja Sang Khalifah, pemimpin yang bijak, tak mendapati keadaan mereka lalu mengirimkan berkarung makanan, apa jadinya kisah janda miskin dan anak kecilnya ini selanjutnya?
Janji. Seberapa seringkah kita, orang tua, menebarkan janji kepada anak - anak kita?
"Jangan sekarang, nanti saja, kita beli yang di sana dulu saja (karena uang di dompet tinggal beberapa lembar puluhan ribu saja)"
"Jangan sekarang ya beli mainannya, nanti saja waktu ayah gajian (karena kebutuhan lain harus dibeli dengan anggaran yang pas - pasan)"
"Nanti ya, waktu tahun baru saja kita berpiknik bersamanya, sekarang kan belum liburan (padahal maksudnya, semoga si anak bisa menerima lalu terlupa akan agenda yang dijanjikannya)"
Berbagai upaya - upaya pengelabuhan lainnya yang dilakukan agar anak - anak menyimpan kembali keinginannya dan beralih pada 'pengganti' yang harus diterimanya, meski sedikit kecewa. Ada yang mudah melupakannya, namun banyak juga yang teringat. Setidaknya satu makna sebuah pelajaran mengendap di benak anak bahwa janji boleh saja diucapkan sebagai jalan keluar sementara, tanpa satu kepastian akan terlaksana atau tidaknya, dengan atau tanpa satu keseriusan untuk mewujudkannya.
Membuat anak - anak memiliki harapan dan berharap akan sesuatu yang tak yakin bisa diwujudkan atau justru sengaja disampaikan mereka termakan harapan palsu, lebih buruk dari satu kebohongan yang dilakukan secara terang - terangan. Misalnya, "Makanan di sini tidak enak, enakan masakan di rumah" atau "Beli mainan terus, nanti Bu Guru marah jika tahu," atau "jika kita piknik sekarang, tempat wisatanya pada tutup karena sepi."
Dengan kebohongan - kebohongan seperti ini setidaknya si anak tak berharap akan datangnya jawaban atas keinginan mereka. Karena walau tak terucapkan, anak yang diberi janji akan menyimpan keyakinan di alam bawah sadar mereka. Akhirnya tiba waktu muncul atau tidaknya pembuktian janji oleh yang memberikan janji.
Tetapi, seiring perjalanan waktu, si anak bisa saja melakukan hal yang sama atas perlakuan yang diterimanya semasa anak - anak. Mereka tentunya menyerap dalam alam bawah sadarnya tentang kejaidan dijejali janji - janji yang kebanyakan tak ditepati. Dalam perkembangan usia si anak yang lalu pun menjadi dewasa, perlakuan yang diterimanya akan mengukir jiwa dan membentuk karakternya. Karakter apakah itu? Bisa saja bertransformasi menjadi karakter buruk yang tak pernah diharapkan oleh orang tuanya. Atau justru kebalikannya, tergantung tempaan demi tempaan kehidupan yang dialami si anak di masa - masa selanjutnya. Karena jika berkaitan dengan janji, hanya orang dengan karakter dan kepribadian yang baik lah yang selalu berusaha mewujudkan janjinya. Setiap orang, baik yang beritikad baik maupun yang tidak, bisa saja dengan mudah membuat janji atau sekedar menyebarkan harapan palsu, namun hanya individu yang memiliki karakter kuat dan kepribadian baik yang akan mewujudkannya.
Kepada anak - anak, kita sering mencemari proses alami pembentukan karakter dan kepribadian mereka dengan ulah yang kita sendiri sebagai orang dewasa yang harusnya memberikan panutan. Termasuk membuat janji kepada mereka dan kemudian tak menepatinya, karena dianggap tak begitu berarti karena anak - anak tak banyak mengerti. Seakan lupa bahwa anak - anak pun memiliki catatan rapi dan terperinciapalagi menyangkut hal yang begitu sangat diinginkannya.
Dalam ruang ingatan mereka, janji 'pengganti' sebagai jawaban atas keinginan mereka itu, akan mengendap dan melekat kuat di dalam benak mereka yang dalam saat - saat tertentu akan muncul dan menagih. Jika tagihan ini lalu berjawab janji yang lain atau justru sangkalan dari yang menjanjikannya, kecewa sudah pasti dirasakannya. Namun suatu saat mereka akan melakukan hal yang sama, kepada siapapun bahkan juga kepada anak - anak mereka nanti. Karena saat orang tua mendidik dan memberikan contoh nyata kepada anak - anaknya, secara tak langsung dia juga sedang mendidik dan memberikan contoh kepada keturunannya kelak.
Janganlah memberikan janji yang tak bisa ditepati, terutama kepada anak - anak kita sendiri. Karena janji bagi siapapun seringkali bermakna segalanya. Namun, saat janji itu tak ditepati, kalimat maaf yang disampaikan sebagai pengganti, tiada artinya lagi'. Mereka mungkin dengan terpaksa akan menerima perlakuan ini, namun bisa jadi akan membalasnya suatu saat di masa depan nanti.
Dituliskan oleh Yasin bin Malenggang untuk rubrik #Spinmotion di Vemale Dotcom. Lebih dekat dengan Spinmotion (Single Parents Indonesia in Motion) di
(vem/wnd)