Bom Waktu Pemusnah Itu Bernama 'Pengkhianatan Ketujuhbelas Kali'

Fimela diperbarui 14 Nov 2016, 10:47 WIB

Tanggal 12 November dirayakan sebagai Hari Ayah Sedunia. Bagi yang masih memiliki kesempatan untuk bertemu, berbincang, mengendus aroma bau tembakau dari tubuhnya, atau sekedar bersandar di bahunya sembari duduk di beranda, tentulah tidak akan melewatkan momen – momen berharga bersama Ayah.

Namun tak semua anak memiliki kenangan bersama ayahnya. Banyak anak – anak yang terlahir yatim atau anak - anak yang justru ditinggalkan begitu saja oleh para ayah mereka di saat usia muda. Tanpa kata salam perpisahan yang pantas apalagi melegakan. Ya, saya bicara tentang ayah – ayah yang tega meninggalkan putra – putrinya demi sebuah tujuan dan kepentingan untuk dirinya sendiri.

Demi sebuah mimpi dan angan – angan yang entah mengapa justru muncul dan tumbuh membesar mengalahkan rasa dan logika di saat seorang laki – laki seharusnya menyerahkan segenap jiwa dan raganya kepada keluarga yang dibangunnya. Para ayah yang justru meninggalkan orang – orang yang mencintainya untuk mencari petualangan baru bersama orang lain.

“Laki – laki, mungkin sudah ditakdirkan lahir dengan sifat penipu dan pembohong”

Demikian pernyataan seorang ibu dua anak, yang belum lama memutuskan untuk ‘melepaskan’ laki – laki yang selama ini menjadi suamidan ayah dari kedua anaknya. Keputusan ini bukanlah sesuatu yang sederhana,  mengingat keputusan ini diambil setelah kebohongan dan pengkhianatan laki – laki itu yang disebutkannya sebagai yang ke-tujuh belas kali-nya.

Betapa hancurnya sang ibu, saat menghadapi kenyataan pengkhianatan yang ke-tujuh belas kalinya ini benar – benar menghancurkan seluruh sendi – sendi rumah tangganya. Sang suami membawa serta tabungan dan deposito yang rencananya digunakan untuk jaminan pendidikan anak perempuannya yang sedang mempersiapkan diri untuk memasuki jenjang pendidikan di perguruan tinggi. Yang lebih meremukkan batinnya sebagai perempuan, ternyata selama ini si laki – laki telah memiliki perempuan yang lain tanpa malu – malu mengakui hubungannya dengan si laki – laki. Melalui pesan singkat di telepon genggam atau justru sengaja memajang kebersamaannya dengan si laki – laki di media sosial seolah ingin menunjukkan bahwa dirinyalah sebagai pemenang.

“Sebelumnya aku selalu bisa memaafkannya, namun kali ini bukan hatiku yang dihancur-leburkan, tapi anak perempuanku yang turut frustasi karena tak mampu mendaftarkan dirinya ke perguruan tinggi yang diinginkannya.”

Demi anak, si perempuan mencoba menelan pil pahit dan racun kebohongan serta pengkhianatan yang dilakukan oleh laki – lakinya. Kini, karena anak pulalah dia akhirnya memutuskan untuk ‘melepaskan’ si laki – laki untuk pergi mengikuti tujuan dan keinginannya sendiri. Karena sakit hati anaknya lah si perempuan akhirnya menyadari bahwa apa yang dipertahankan selama ini, hanyalah ‘bom waktu’ yang akhirnya meledak dan meluluhlantakkan bangunan rumah tangganya serta membawa serta korban tak berdosa. Anak – anaknya.

Ayah, laki – laki, dalam ajaran apapun agamanya adalah imam, pemimpin, panutan. Sikap, tindak tanduk bahkan ucapannya adalah hikmah dan pelajaran yang sepantasnya bisa diserap dan ditiru anak – anaknya. Ayah, laki – laki, dalam rumah tangga manapun diharapkan menjadi penjaga, pelindung dan pembela keluarga terutama bagi anak – anaknya. Jangankan luka, nyawa pun akan dipertaruhkannya untuk menjaga agar keluarga dan anak – anaknya terhindar dari sakit atau malapetaka. Ayah, laki – laki, yang ditakdirkan memiliki kekuatan dan energi yang lebih besar, selayaknya menjadi pendukung, penghibur dan penghapus sedih-kecewa yang muncul dalam keluarga. Ayah, laki – laki, dalam keluarga yang kedudukannya dipandang istimewa oleh para bijak dan alim ulama berdasar ajaran agama. Karena pertanggungjawaban besar berikut resikonya akan diterimanya sesuai dengan apa yang dilakukannya terhadap keluarganya, terutama anak – anak dan keturunannya. Pertanggungjawaban kepada yang menciptakan dan mendudukkannya sebagai ayah.

“Kini aku menyadari bahwa kami memang lebih baik tanpa dia.”

Kegagalan terbesar dalam hidup seorang ayah, laki – laki utama dalam keluarga adalah saat seluruh anggota keluarganya justru menyatakan bahwa memang kehadirannya tak memberikan kebaikan atau manfaat sama sekali dan sebaiknya pergi. Apapun alasannya, bagaimanapun jalan cerita yang harus dilaluinya, sekali menjadi ayah, hidup seorang laki-laki nya telah menjadi milik keluarganya, milik anak – anaknya, milik keturunannya yang namanya akan diturunkan dan terus dipakai di belakang anak cucunya.

Bagi para ayah, sudahkah Anda merasa menjadi seorang ayah? Jika sudah, Anda berkehormatan mendapatkan ucapan 'terima kasih dan selamat Hari Ayah' dari saya dan siapapun juga.

“A great dad is patient, makes memories, goes on great adventures, always puts his family first, makes sacrifices, always has the time for his kids, a great teacher, loves his kids and their mother UNCONDITIONALLY."

Dituliskan oleh Yasin bin Malenggang untuk rubrik #Spinmotion di Vemale Dotcom. Lebih dekat dengan Spinmotion (Single Parents Indonesia in Motion) di

(vem/wnd)