Ayah, Mungkin Pribadimu Tak Sempurna Tapi Kau Segalanya Untukku

Fimela diperbarui 12 Nov 2016, 11:30 WIB

Ladies, coba luangkan waktu sejenak. Bayangkan kembali sosok ayah. Tutup matamu dan hadirkan bayang wajahnya di depanmu. Mungkin ia sosok yang begitu keras, tapi dari sikapnya itu kita jadi lebih tangguh menghadapi hidup seperti kisah yang ditulis oleh seorang sahabat Vemale untuk Lomba Menulis Spesial Hari Ayah ini.

***

Satu, satu aku sayang ibu,

Dua, dua, juga sayang Ayah

Tiga, tiga, sayang adik, kakak

Satu, dua, tiga, sayang semuanya

Siapapun yang mendengar lagu ini pasti selalu ingat akan masa kecilnya. Di mana sosok yang kita sayangi pertama kali adalah ibu, kedua ayah, dan ketiga adik juga kakak. Peran ibu sangatlah penting namun kita juga tidak bisa acuh tak acuh terhadap peran ayah dalam keluarga.

Ingatkah kita dengan pertanyaan ibu dan bapak guru saat kita duduk di bangku taman kanak-kanak ataupun sekolah dasar ini? Siapa itu ibu? Dan apa tugas ibu dalam keluarga? Jawaban kita, tentu ibu yang melahirkan, membesarkan, dan mendidik anak-anaknya. Dan kita juga akan ditanya, “Siapa dan apa tugas ayah?” Kita hanya bisa menjawab ayah memiliki tugas mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan keluarga, kita tidak mengetahui siapa itu ayah.

Kita hanya tahu jika ibu adalah perempuan, dan perempuan itu melahirkan dan ayah adalah pria dan tidak mungkin melahirkan. Saat kecil kita tidak tahu asal kita tercipta dalam sebuah proses dan sampai bisa dilahirkan ke dunia ini oleh seorang perempuan tangguh dan kuat, yakni ibu. Ibu dan guru kita di sekolah yang menjelaskan peran ayah dalam keluarga tanpa menjelaskan siapa itu ayah.

(vem/nda)
2 dari 6 halaman

Sejak Kecil, Mungkin Kita Lebih Dekat dengan Ibu

Foto: copyright thinkstockphotos.com

Sejak kecil, kita lebih dekat kepada ibu. Dibandingkan ayah yang setiap hari bekerja mencari nafkah, ibu sosok yang selalu ada setiap saat. Meskipun ibu juga lelah dengan pekerjaan di kantor dan di rumah, perhatiannya tetap tercurahkan pada putra-putrinya. Ibu sosok yang menenangkan kita dalam situasi apapun. Menjadi pendengar yang baik kala berdiskusi dan duduk bersama serta motivator dalam keluarga.

Lalu bagaimana dengan ayah? Waktu dan ruang yang kita miliki bersama ayah sangatlah terbatas. Kita tak banyak melakukan hal-hal yang menyenangkan. Saat kita mengajak ayah bermain boneka barbie atau memasak, ayah mengatakan “Ayah tidak tahu cara mainnya, Nak!” Bahkan saat kita makan dan ingin disuapi ayah menolak, dan meminta ibu untuk menyuapi kita. Kalaupun ayah menerima permintaan putrinya, dilakukan dengan tidak sabar. Jawaban itulah yang membuat kita merasa kesal dan kecewa. Sikap tersebut menjauhkan kita, anak perempuan semakin jauh terhadap ayah.

[startpuisi]Kita tidak pernah tahu mengapa sikap ayah bisa begitu berbeda dengan ibu. Pertanyaan dalam hati dan pikiran ini selalu bertanya,

  • Mengapa ayah tidak mau bermain boneka?
  • Mengapa menyuruhku makan sendiri, padahal aku ingi disuapi?
  • Mengapa aku tidak boleh membeli minuman itu, padahal aku haus?
  • Mengapa ayah memarahiku, padahal aku baru jatuh dari sepeda?
  • Mengapa ayah menyuruh aku belajar, padahal aku masih ingin main?
  • Jika semua pertanyaan kita sodorkan pada Ayah, mungkin ayah tidak akan menjawab dan jika dijawab akan mengecewakan hati kita.[endpuisi]


Ibu yang justru menjawab pertanyaan-pertanyaan kita akan sikap ayah seolah ingin mendinginkan dan mencairkan suasana dengan jawaban, “Ayah itu sayang sama kamu, Nak?” Kita, anak perempuan dibuat tidak mengerti dan memahaminya. Di satu sisi mengatakan sayang dan di sisi lain mengecewakan kita. Sehingga banyak perdebatan yang kita lakukan dengan ayah. kita sendiri tak banyak berdiskusi bahkan berbicara mengenai suatu hal yang ingin dibahas bersama-sama.

3 dari 6 halaman

Saat Kita Mulai Belajar untuk Mandiri

Foto: copyright thinkstockphotos.com

Waktu terus berlalu, tak terasa usia menginjak masa pubertas di sekolah menengah pertama, kita dihadapi pada kehidupan yang jauh berbeda. Tidak ingin dianggap anak manja seperti dulu, kita mulai belajar mandiri dan mencari banyak teman dan sahabat.

Kita disibukkan kegiatan di luar rumah mengikuti ekstrakurikuler, bimbingan belajar, bekerja kelompok dan hang out bersama teman. Namun demikian, sikap ayah yang masih menganggap kita putri kecilnya selalu mengirim pesan SMS dan telepon menanyakan keberadaan kita dan menyuruh kita agar cepat pulang, bahkan menjemput kita ke sekolah. Perlakuan ayah membuat kita malu di hadapan teman-teman yang beranggapan jika kita itu manja.

Emosi di masa remaja itu tidak bisa mengontrol diri hingga semakin menjauhkan kita pada sosok ayah. Ini terjadi sampai kita duduk di bangku SMA hingga tingkat universitas. Sekolah dan tempat kuliah pun dipilihkan oleh ayah yang mempertimbangkan jarak tempuh, kualitas dan lingkungan sekitar, tanpa berdiskusi terlebih dahulu dengan putrinya ini. Ibu selalu memintaku untuk mengikuti ucapan ayah, jika tak ingin dianggap sebagai anak durhaka. Kita selalu bertanya, apakah suara kita tidak ada artinya yang dianggap sebagai angin lalu.

4 dari 6 halaman

Posisi Ayah Saat Kita Mulai Mengenalkan Pria Lain Padanya

Foto: copyright thinkstockphotos.com

Saat beranjak dewasa, kita juga mulai mengenal dan menemukan sosok pria lain selain ayah. Kita akan membawa pria-pria itu dan mengenalkannya kepada ayah. Tentu ayah akan bertanya, “Siapa dia?”

Ayah sangat berhati-hati dengan pria-pria yang mendekat pada putrinya. Entah memang sikapnya yang posesif dan tegas, pria yang datang ke rumah menunjukkan reaksi yang berbeda. Ketika ada pria lain yang dapat menaklukkan hati ayah, saat itu juga  ayah mengurangi perhatian dan tidak ikut campur pada masalah yang kita hadapi. Karena meyakini ada pria lain yang lebih bisa mengerti, memahami, dan setia menjaga kita. Di masa depan, kelak kita akan bersama sosok pria lain dan meninggalkan ayah. Di saat itu juga, kita sadar akan arti siapa ayah.

5 dari 6 halaman

Jawaban Atas Semua Pertanyaan

Foto: copyright thinkstockphotos.com

Pertanyaan-pertanyaan yang tersimpan ini terjawab satu persatu.

Mengapa ayah tidak mau bermain boneka?
Ayah terbiasa bermain mainan untuk anak laki-laki. Tidak mau bermain boneka, bukan tidak mau, tetapi dia memang dengan jujur tak bisa memainkan boneka. Jika ayah menyanggupi namun tak bisa melakukan dengan benar, akan membuat putri kecilnya kecewa dan menangis. Ayah tidak suka membuat putrinya menangis.

Mengapa menyuruhku makan sendiri, padahal aku ingin disuapi?
Ayah mengajarkan kita untuk belajar mandiri dan tidak menjadi anak manja yang semua keinginannya harus terpenuhi sedini mungkin. Dengan mandiri muncul sifat perngertian, penyayang dan peduli.

Mengapa aku tidak boleh membeli minuman itu, padahal aku haus?
Ayah melarang kita untuk tidak membeli sesuatu yang menurutnya akan membahayakan kesehatan putrinya.

Mengapa ayah memarahiku, padahal aku baru jatuh dari sepeda?
Ayah merasa putrinya tidak berhati-hati. Emosinya hanya dikeluarkan sesaat, karena kekhawatirannya.

Mengapa ayah menyuruh aku belajar, padahal aku masih ingin main?
Ayah ingin menjadikan kita wanita yang memiliki banyak wawasan kelak menjadi wanita yang cerdas.

6 dari 6 halaman

Kita Mengenal Dunia karena Ayah

Foto: copyright thinkstockphotos.com

Kita mengenal dunia karena ayah, kita kuat menjalani kerasnya hidup karena ayah, dan juga kita mengenal cinta dan sayang karena ayah. Ayah adalah pria yang pertama mencintai kita. Ayah yang mencukupi kehidupan kita sejak masih di dalam kandungan ibu, hingga menjadi anak perempuan dewasa yang mampu berdiri tegak sendiri.

Meskipun nominal uang yang dikeluarkan ayah dapat dihitung dan dibayarkan, namun kita tidak akan pernah bisa membayar tetesan keringat dan air mata. Baginya, itu hanya sedikit bukti cinta, kasih sayang, dan pengorbanan. Kodrat ayah bukanlah sosok perempuan yang mempunyai rahim dan melahirkan kita, tetapi menjadi kepala keluarga dengan tujuan membahagiakan orang terkasihnya. Diibaratkan sebagai nahkoda kapal yang mengarungi dempuran gelombang dan angin laut yang membawa kapal ke sebuah dermaga.

Ayah adalah sosok hebat yang tegas, prosesif dan perfeksionis. Di balik sikap ketegasannya, terselip rasa penolakan apa saja yang akan mengganggu/merusak anak-anaknya. Di balik sifat prosesifnya, terselipkan rasa kekhawatiran hal apa saja yang selalu dilakukan oleh anak-anaknya di luar rumah. Dibalik sifat perfeksionisnya, terselip rasa ingin memberikan motivasi untuk terus berbenah dan memperbaiki diri.

Ayah maafkanlah, anak perempuanmu ini jika penilaian buruk ini selalu tertanam dalam hati. Padahal, sejujurnya rindu ini selalu terbesit dalam ingatan. Rindu akan perhatian, amarah, dan sifat lain yang ditunjukkan olehmu. Pria pertama yang tak bisa menggantikanmu di hati ini, meskipun ada pria lain yang menemani kehidupan kita di masa depan nanti. Ayah, bolehkah putrimu ini mengucapkan, "Ayah, aku rindu."

- Hanna

[pos_1]