Menanam Benih Tak Diakui, Laki-Laki Pengecut Itu Adalah Suamiku

Fimela diperbarui 03 Nov 2016, 11:13 WIB

Pisau itu sudah kusiapkan dalam tas yang kubawa dari rumah. Polisi telah berhasil 'menggiringnya' datang ke kantor polisi, untuk menjernihkan masalah kami, karena selama ini dia selalu menghindar dan bersembunyi. Mendengar kabar bahwa dia sudah di kantor polisi, sontak menggelegak darah dalam tubuhku. Seolah api yang menyala - nyala bak sekam bara yang disiramkan bensin di atasnya. Tiba saatnya menuntaskan dendamku dan keluarga besarku atas penghinaan luar biasa yang dia timpakan terhadap kami. Penghinaan yang telah menyinggung bahkan menginjak - injak harga diriku sebagai perempuan, seorang calon ibu dan seorang anggota keluarga bermarga terpandang di kotaku. Penghinaan yang hanya bisa dilakukan oleh pengecut berjiwa rendah dan bukanlah suatu perbuatan yang sepatutnya dilakukan oleh laki - laki yang sejatinya adalah ayah kandung, janin yang saat itu ada di rahimku. Ya, dia memang suamiku, yang dinikahkan dengan di atas Syahadat dan ber-mas kawin Al-Quran.

"Ya saya mengakui bahwa janin di dalam rahim itu anak saya, bukan hasil perselingkuhan dengan orang lain seperti yang saya tuduhkan."

Tertunduk malu, pucat pasi dalam gemetar karena interogasi petugas di Polsek, dia akhirnya mengakui semuanya. Tiada lagi sangkalan, dalih dan 'selintat - selintut' kalimat bau kentut dari mulutnya. Di awal pertemuan kami pada mediasi yang difasilitasi pihak kepolisian, dia memang masih berusaha bertahan dengan tuduhan bahwa janin di rahimku bukanlah darah dagingnya. Saat pisau hendak kutikamkan padanya, anggota polisi yang telah menengarai gelagat kemarahanku, berusaha mencegahku. Mereka merampas pisau dari tanganku. Setelah itu barulah dia mulai memahami bahwa permasalahan ini tak sesederhana janji perkawinan yang pernah dibacakannya di depan penghulu. Dan dengan beberapa kali ancaman untuk dakwaan penyebaran fitnah dan pencemaran nama baik, dia akhirnya mengakui seluruh aksi pura - pura dan alasan yang dibuat - buat dalam fitnahannya terhadapku. Istrinya sendiri yang baru mengandung janin calon anaknya.

Pria itu, jikalau masih layak disebut 'suamiku', hanya ingin bebas. Dia hanya ingin tak perlu bertanggung jawab atas anak kandungnya sendiri dan dia ternyata hanya menjadikan pernikahan sebagai pelampiasan dari nafsu kelaki - lakiannya saja. Hanya itu ternyata. Setidaknya dari kalimat - kalimat yang diucapkannya di depan polisi dan terdengar jelas olehku yang duduk di kursi agak jauh darinya. Duniaku gelap pekat saat itu, mendapati kenyataan bahwa suami yang menikahiku tak lebih dari laki - laki yang tak beretika dan tak bermoral bahkan makhluk yang berjiwa rendah dalam aksi fitnahnya terhadapku. Dan alasan - alasan atas semua tindakannya terhadapku, termasuk alasan menikahiku, benar - benar tak hanya tak masuk akal, membuatku mual. Perasaanku terkoyak, terasa perih bagai teriris - iris oleh pisau tajam seperti pisau yang kupersiapkan tuk menikamnya tadi. Hari itu, kegelapan menutupi duniaku.

Lima tahun sejak kejadian itu, dan sejak perceraianku dengan dia, anak laki - laki mungil dan lucu telah lahir dan tumbuh menemani hari - hariku. Anak yang sejak janin di rahim tidak diakui oleh ayahnya, anak yang oleh ayahnya pernah dijadikan 'alasan tak masuk akal' untuk lepas dari ikatan perkawinan dan tanggung jawab sebagai laki - laki, suami dan seorang ayah. Anak yang kini menjadi sumber semangat hidup dan inspirasi tanpa batas dalam hari - hariku menjalani tugas dan kewajibanku sebagai ibu. Sekaligus sebagai ayah baginya.

Ya, aku menjadi seorang single mom bahkan sebelum anakku lahir. Begitu berat aku mengawali peran baruku ini, terutama di saat - saat awal perceraianku dengan dia. Terlebih jika mengingat fitnah dan penghinaan yang dilakukannya sebagai jalan untuk kabur dari tanggungjawabnya. Namun kusadari bahwa ini sudah menjadi takdir dan peranku di dunia ini. Dan kuniatkan untuk melanjutkan hidup sendiri bersama anak laki - lakiku hingga kini. Bagaimana dengan dia? Laki - laki mantan suami dan ayah anak laki - lakiku? Telah kuserahkan semuanya pada keadilan yang Maha Kuasa, walau secara pengecut pula sejak berpisah dia pun lalu kabur entah kemana semenjak itu dan seolah hilang di telan bumi.

Melupakannya sedikit lebih mudah dengan adanya bayi lucuku, namun memaafkannya aku belum mampu. Mungkin dengan membencinya, kubisa melupakan cintaku padanya yang pernah ada. Mungkin dengan membencinya, kubisa kuat bertahan dan malah berniat menunjukkan kepada semua bahwa aku mampu membesarkan sendiri anakku tanpanya. Untuk saat ini, jangan tanyakan seberapa besar benciku padanya, karena pisau yang kubawa dulu kantor polisi masih kusediakan khusus untuknya. Untuk hari - hari ke depan, doakan saja dia tak menemui kami, atau kami tak sengaja bertemu muka dengannya saat dendamku masih menyekam di dasar hati.

Diceritakan kembali berdasarkan kisah seorang sahabat, untuk mengingatkan semua bahwa kekerasan terhadap perempuan dan anak di negeri ini semakin meningkat. Pelecehan tak hanya melalui fisik, tetapi juga kata-kata yang merendahkan harkat-martabat wanita. Salah satu wujudnya adalah penelantaran yang disengaja. Ribuan kasus seperti di atas telah terjadi. Mari kita lawan!

Dituliskan oleh Yasin bin Malenggang untuk rubrik #Spinmotion di Vemale Dotcom. Lebih dekat dengan Spinmotion (Single Parents Indonesia in Motion) di http://spinmotion.org/

(vem/wnd)