Jalani LDR Selama 7 Tahun, Ini Caraku Belajar Cinta Darinya

Fimela diperbarui 25 Okt 2016, 14:40 WIB

Ladies, siapa yang sedang menjalani Long Distance Relationship atau yang sering kita sebut LDR? Hmm, pasti kamu selalu merasa rindu dengan pujaan hatimu ya karena jarang sekali bertatap muka dengannya.

Bagi kamu yang baru memulai kisah cinta LDR, sebaiknya membaca dengan serius artikel kali ini. Kenapa? Karena gadis manis bernama Sylvia Dewi berikut ini sudah berpengalaman soal LDR. Bagaimana tidak, ia sudah lima tahun menjalani hubungan jarak jauh.

Jika dihitung-hitung, ia sudah tujuh tahun pacaran, tahun ketiga ia harus menjalani LDR ini. Dan yang terpenting, ia sama sekali tak pernah berantem dengan pasangan LDR-nya ini. Penasaran seperti apa ceritanya? Simak yuk selengkapnya.

Pertama kali ketemu Syahrir karena dia temen sekelas waktu kelas satu Sekolah Menengah Atas. Absennya pas banget di atas aku, tadinya emang perasaan aku ke dia biasa aja, karena waktu itu masing-masing dari kita sudah punya pacar. Bahkan pacar aku sekelas pula sama kita berdua, kalo Syahrir pacarnya di kelas lain.

Terus awal kita deket karena dia teman satu genk, ada perempuan berlima dan tiga laki-laki. Setiap jalan-jalan yang mau nganter aku pulang cuma Syahrir, yang lain nggak mau soalnya kebetulan rumahku jauh. Setelah itu, kita jadi sering jalan bareng bahkan tanpa teman se-genk. Lama-lama rasa suka itu muncul, tidak lama dari itu kita jadian. Aku jadian sama dia waktu aku kelas dua SMA, yang pastinya kita udah putus sama pacar kita masing-masing. Hmm, Seneng bukan? Dari temen kita bisa jadi sepasang kekasih.

Nah saat kelas tiga, temen- temen aku yang pacaran udah ada yang wanti-wanti pacarnya untuk tidak kuliah di luar kota, namun lain halnya dengan aku, aku sendiri malah cuek aja, soalnya waktu itu menurutku itu bukan masalah besar. Sampai akhirnya Syahrir keterima di Universitas Negeri Semarang.

Yah mau tak mau aku harus menjalani LDR, kupikir mudah karena saat ini internet mudah didapatkan. Jadi tak perlu bingung untuk berkabar dengan kekasihku itu. Namun pada kenyataannya, hubungan jarak jauh ini ternyata sangat berat aku jalani. Contohnya saja kangen itu berat, kangen sampai mau nangis udah sering aku alami, drama sedih-sedihnya jika ia batal pulang, pokoknya sedih banget.

Tapi lama-lama aku terbiasa dengan kondisi seperti itu, toh akhirnya setiap baru ketemu lagi, jadi deg-degan seperti kencan pertama lagi, bisa mesra banget jika jalan-jalan jadi kaya orang baru awal awal pacaran.

Perasaan lelah LDR dan bosen itu ada, tapi kita sama-sama memutuskan untuk nggak cari yang orang lain lagi. Ini pun salah satu jawaban juga buat pertanyaan kenapa bisa pacaran lama, karena kita pacaran juga udah paham tujuannya ke mana, bahkan dari SMA yang masih memiliki pikiran labil, kita sudah membicarakan soal pernikahan kok, ya cuma obrolan kelas rendah anak-anak SMA aja sih. Tapi artinya dari usia sekecil itu, kita udah ngeliat satu sama lain sebagai pasangan hidup di masa nanti.

Aku pun sering dapet pertanyaan dari temen-temen, “Pi, lo gak pernah berantem sama dia?” dulu sempet bingung karena memang faktanya kita jarang banget berantem, tapi ada kejadian beberapa waktu lalu yang bikin aku mantap untuk menjawab.

Sebagai pasangan LDR 525km antar provinsi, kita memang cuma berpegang sama gadget untuk tetep keep in touch, jadi daily habit kita ya chatting kaya pasangan pada umumnya.

Celetukan yang bilang, “LDR pasti video call melulu ya? Telepon setiap hari dong?” Itu nggak terjadi sama kita, kenapa? Karena kita menghargai kesibukan kita masing-masing. Sudah bisa mengontrol rasa rindu kalau datang.

Lanjut cerita, akhirnya aku telepon dia karena lagi rindu, kebetulan aku lagi dalam kondisi menstruasi yang bikin mood swings-nya parah banget. Yah tahu kan, mood kalo lagi menstruasi itu parah banget. Entah awalnya bagaimana, kita jadi ngomong serius dan aku nggak sepakat sama dia, aku nggak bisa ceritain ini soal apa, tapi waktu itu aku mikir kok dia santai banget sedangkan gue-nya udah visioner ke mana-mana.

Kalo mau tahu gaya berdebat kita, nggak pakai mencak-mencak kok, selayaknya orang yang sedang marah. Tapi dia, as usual, bertutur dengan lembut meskipun statement-nya bikin menusuk hati. Karena banyak belajar ilmu sabar dari dia juga, cuma bisa ngomong tegas dan harus setuju sama yang aku pengen tapi tetap hati-hati.

Pas lagi panas-panasnya, tiba-tiba telepon keputus, karena memang setelah satu jam, provider yang aku pakai suka memutus sambungan dengan sengaja. Berhubung udah males ngomong sama dia, aku cuma chat ke dia bilang, “Good night, rir” setelahnya dia masih coba jelaskan dan minta supaya aku nggak marah. Yah namanya cewek, aku tetep jual mahal dan tetep jutek.

Dan untuk mengakhiri perbincangan malam itu, seperti biasa dia bilang,
“Tenangkan pikiran dan hatimu dulu ya teh.
Kita diskusi lagi saat segalanya telah kondusif.
Maafkan kesalahan bertuturku bila tak berkenan di hatimu. Wufyu ( I Love You)” Yup, I know he’s wonderful.

Lalu, seperti biasa juga setelah itu aku selalu menurunkan ego sedikit-sedikit dan kebetulan waktu itu udah malem banget, aku putuskan untuk tidur. Di pagi hari, chat pertama yang aku dapat dari dia tetap sama “Selamat pagi teh.” dan gue menjawab “Selamat pagi juga rir.”

Terus hari-hari kita berjalan seperti biasa seolah-olah kejadian malam itu tidak terjadi. Semudah itu dan sesederhana itu.

Pertanyaan selanjutnya, “Loh berarti masalah lo yang semalem itu nggak tuntas dong? Hati-hati nanti kebahas malah berantem lagi” Well, tanggapan aku ada dua.

Satu, itu tidak bisa dibilang berantem, di kepalaku berantem itu seperti teriak-teriak, nunjuk-nunjuk dan rusuh-rusuh lainnya. Sedangkan kondisi yang biasa aku temui sama dia adalah discuss, kalau ada beda statement ya wajar, pokoknya pakai kepala dingin lah, bukan urat.

Nah, yang ke dua, Ini jawaban konklusi dari semua tulisan di atas. Iya memang keliatannya jadi masalahnya tidak tuntas, tapi menurut aku enggak. Kita dalam benak masing-masing tahu ini bahasan yang nanti akan muncul lagi, yang nanti akan bikin kita argue lagi, so kita mark bahasan ini sebagai sensitive case.

Sensitive case ini hanya bisa dibahas dengan cara seperti yang dia bilang, “Pikiran dan hati yang tenang.” Jadi kalau next mau ngebahas lagi soal ini karena waktunya udah tiba, kita harus siapin mental dulu, pikiran udah tenang belum? Hati udah tenang belum? Kalau belum mending tidak usah dibahas, yang ada cemberut lagi. Tapi kalau udah, ya ayo diskusikan sampai ketemu jalan keluar.

Nah hikmah yang bisa kita ambil dari cerita ini, kita harus dengan kepala dingin menyelesaikan setiap permasalahan, karena keputusan yang diambil saat kita emosi tidak pernah baik. Jadi, hubungan akan tetap langgeng walau kamu menjalani hubungan jarak jauh yang banyak rindunya.

Kamu sendiri, seperti apa hubunganmu dengan si dia, ladies?

(vem/asp/feb)
What's On Fimela