Karena Bencana Alam, Orang Bisa Alami Gangguan Jiwa, Ini Cirinya

Fimela diperbarui 19 Okt 2016, 15:30 WIB

Bencana memang sangat merugikan, korban bukan hanya akan kehilangan harta benda, tapi kemungkinan juga akan terguncang secara mental, bahkan bisa jadi mudah terkena gangguan jiwa.

Biasanya korban bencana akan mengalami bencana psikososial (stressor), terutama yang bersifat katastropik. Hal ini bersifat mengancam nyawa atau integritas seseorang sehingga memerlukan penanganan yang menyeluruh dan bersifat segera agar dapat mencegah terjadinya gangguan jiwa berat.

Jika tidak ditangani dengan baik, bencana psikososial umumnya akan mengakibatkan terjadinya gangguan stress akut atau Post Traumatic Stress Disorder (PTSD). Bahkan tidak menutup kemungkinan juga terjadi gangguan jiwa yang lain seperti misalnya depresi, gangguan kecemasan, gangguan mood, penyalahgunaan zat aditif, dan lain sebagainya.

Bencana psikososial juga bisa berdampak pada terjadinya gangguan fisik, misalnya hipertensi dan diabetes.

"Stresor psikolisis ialah suatu tekanan atau peristiwa yang menimpa seseorang yang memerlukan adaptasi," ujar DR. dr. Nurmiati Amir, SpKJ (K) – Ketua Majelis Pengembangan Pelayanan Keprofesian Psikiater.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Jiwa menyebutkan bahwa salah satu upaya preventif kesehatan jiwa yakni mencegah timbulnya dampak psikososial.

Gejala-gejala PTSD bisa dilihat dari berulangnya memori yang menakutkan, mimpi menakutkan, reaksi disosiasi, penderitaan psikologis traumatik. Hal ini terjadi terus-menerus, dan orang yang mengalami biasanya akan menghindar, menghindari memori, pikiran atau perasaan terkait bencana.

Dr Nurmiati pun mengatakan, adapula gejala PTSD lanjutan seperti ketidakmampuan mengingat aspek penting peristiwa traumatik. Orang akan kehilangan kepercayaan terhadap diri sendiri dan orang lain seperti misalnya selalu menyalahkan diri sendiri, hilangnya minat beraktivitas, merasa terpisah dari lingkungan, ketidakmampuan merasakan emosi positif, merusak diri sendiri, cepat marah, mudah kaget dan selalu waspada, serta gangguan jam tidur.

Beliau pun menambahkan, Stressor psikososial terbagi atas dua kategori

1. Usual atau common stressor yang bersifat individual. Masing-masing orang akan memersepsikan stresor ini sebagai stresor dengan skala ringan, sedang atau berat.

Berat ringannya skala stresor ini bergantung pada persepsi seseorang terhadap stresor tersebut. Selain itu, kepribadian, daya tahan psikologis, pengalaman dan kemampuan atau keterampilan seseorang mengatasi stresor juga menentukan.

2. Catastrophic stressor, yaitu stressor yang mengancam nyawa, misalnya bencana tsunami atau stresor yang mengancam integritas misalnya pemerkosaan. Semua orang akan memersepsikan stresor katastrofik sebagai stresor yang sangat berat.

“Stressor belum tentu mengakibatkan stres pada semua individu, hal ini tergantung pada kepribadian, pengalaman serta kemampuan orang menghadapi masalah. Hal

yang perlu dicegah adalah terjadinya gangguan stresor akut, gangguan stres pasca trauma (PTSD), atau gangguan jiwa lainnya," ujar Nurmiati.

Sebelum individu mengalami PTSD, terjadi fase akut yang berlangsung mulai dari 3 hari hingga 1 bulan pasca trauma (gangguan stress akut). Bila tidak ditangani dengan baik, gangguan stres akut dapat berlanjut menjadi PTSD.

Di dalam otak manusia, terdapat bagian yang disebut amigdala. Amigdala merupakan pusat rasa takut. Ketika terjadi bencana psikososial, amigdala teraktivasi dan akan mengirim sinyal ke berbagai otak lainnya.

Amigdala tak ubahnya seperti “stasiun pemancar” yang mengirim sinyal ke berbagai penjuru. Misalnya Amigdala mengirim sinyal ke batang otak, terjadilah peningkatan denyut jantung (berdebar-debar) dan pembuluh darah perifer menciut sehingga orang menjadi pucat.

Amigdala juga mengirim sinyal ke pusat yang mengatur pernafasan sehingga nafas orang yang mengalami trauma menjadi pendek atau cepat. Peristiwa rasa takut yang hebat akan disimpan ke bagian otak yang disebut hipokampus yang akan memunculkan berulang kali peristiwa traumatik tersebut, tidak sama dengan penyimpanan memori biasa. Memori bencana traumatic disimpan lebih dalam dan lama, sulit atau tidak mungkin hilang.

Psikiater memegang peranan penting dalam upaya mengenali secara dini permasalahan kesehatan mental akibat bencana psikososial, bagaimana mencegah terjadinya gangguan jiwa dan menanggulanginya serta melakukan pertolongan pertama psikologis.

(vem/asp/feb)
What's On Fimela