[Vemale's Review] Novel ''Satu Hari Bersamamu'' - Mitch Albom

Fimela diperbarui 19 Okt 2016, 10:10 WIB

Judul: Satu Hari Bersamamu (For One More Day)
Penulis: Mitch Albom
Alih Bahasa: Olivia Gerungan
Sampul: Orkha Creative
Cetakan kelima, September 2016
Diterbitkan pertama kali oleh Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama

"For One More Day adalah kisah tentang seorang ibu dan anak lakilakinya, kasih sayang abadi seorang ibu, dan pertanyaan berikut ini: Apa yang akan kaulakukan seandainya kau diberi satu hari lagi bersama orang yang kausayangi, yang telah tiada?

Ketika masih kecil, Charley Benetto diminta untuk memilih oleh ayahnya, hendak menjadi “anak mama atau anak papa, tapi tidak bisa dua-duanya”. Maka dia memilih ayahnya, memujanya––namun sang ayah pergi begitu saja ketika Charley menjelang remaja. Dan Charley dibesarkan oleh ibunya, seorang diri, meski sering kali dia merasa malu akan keadaan ibunya serta merindukan keluarga yang utuh.

Bertahun-tahun kemudian, ketika hidupnya hancur oleh minuman keras dan penyesalan, Charley berniat bunuh diri. Tapi gagal. Dia justru dibawa kembali ke rumahnya yang lama dan menemukan hal yang mengejutkan. Ibunya––yang meninggal delapan tahun silam––masih tinggal di sana, dan menyambut kepulangannya seolah tak pernah terjadi apa-apa."


"Ini kisah sebuah keluarga dan, karena ada keterlibatan sesosok hantu, kau bisa menyebutnya cerita hantu." Inilah kalimat pertama dalam novel Satu Hari Bersamamu (For One More Day) karya Mitch Albom. Membaca kalimat pertamanya saja langsung membuat penasaran. Tentang keluarga? Tapi kok disebut-sebut soal keterlibatan hantu?

Charley Benetto memutuskan untuk mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri. Rasa penyesalan dan bersalah yang begitu dalam membuatnya sudah kehilangan harapan untuk hidup. Hanya saja percobaan bunuh dirinya tak berjalan sesuai keinginannya. Alih-alih, ia tergiring kembali ke rumah masa kecilnya. Ibu tercinta, Pauline 'Posey' Benetto yang sudah meninggal delapan tahun lalu muncul di hadapan Charley. Sungguh tak disangka, ia bisa kembali bercakap-cakap dan menghabiskan waktunya bersama ibunya lagi, meskipun kesempatan itu cuma bisa ia miliki satu hari saja.

Kehidupan Charley tak bisa dibilang sempurna. Saat masih kecil, Charley diminta oleh ayahnya mau jadi anak mama atau papa. Charley tak bisa memilih keduanya, maka ia lebih memilih untuk jadi anak papa. Namun, Charley dikecewakan ketika ayah dan ibunya bercerai lalu ayahnya meninggalkan Charley tanpa alasan ataupun kejelasan. Sejak remaja, Charley pun dibesarkan oleh ibunya. Charley merasa marah dan berontak, bahkan ia sendiri sering merasa malu dengan keadan ibunya yang telah susah payah membesarkannya. Di detik-detik terakhir hidup sang ibu, Charley tak melakukan sesuatu yang seharusnya ia lakukan. Ia pun kemudian harus menanggung sebentuk rasa penyesalan yang begitu dalam.

Sepeninggal ibunya, kehidupan Charley makin terpuruk. Pernikahannya dengan Catherine juga hubungannya dengan anak perempuannya, Maria makin berantakan. Bisnis yang ia bangun pun tak ada yang berhasil. Makin hancurlah hidupnya saat istri dan putrinya tersebut meninggalkan Charley seorang diri.

Novel ini menggunakan alur maju dan mundur tapi sama sekali tak membingungkan. Justru kita dibuat untuk terus penasaran dan tertarik mengikuti bab demi bab novel ini. Seperti yang sudah disebutkan di pembuka novel ini bahwa ada keterlibatan hantu di sini, tapi jangan bayangkan tentang cerita horor atau menyeramkan, ya. Malah ceritanya banyak yang menyentuh hati dan sangat mengharukan.



Bagian favorit saya di novel ini tak lain adalah bab-bab Saat-Saat Aku Tidak Membela Ibu dan Saat-Saat Ibu Membelaku. Di sini diceritakan soal hubungan antara Charley dan Ibunya dulu. Tentang bagaimana dulu sang ibu sering melakukan sesuatu dan mengorbankan banyak hal untuk Charley. Namun, Charley tampaknya tak pernah benar-benar melakukan sesuatu atau membahagiakan hati ibunya. Kisah-kisah mereka yang begitu emosional sungguh bikin air mata mengalir dengan sendirinya.

“Kuharap kau tak pernah mendengar kata-kata itu. "Ibumu. Dia meninggal". Kata-kata itu berbeda dengan kata-kata lain. Kata-kata itu terlalu besar untuk telingamu.”



Tak terbayang bagaimana rasanya saat kita tak sempat mengucapkan selamat tinggal untuk terakhir kalinya pada ibu kita tercinta. Terlebih jika hubungan kita dengannya sebelumnya tak baik. Rasa sedih dan penyesalan pasti akan terus menghantui kita.

“Hitunglah jam-jam yang seharusnya bisa kau habiskan bersama ibumu. Rentangannya sepanjang masa hidup itu sendiri.”


Benar adanya kalau kita baru merasa sesuatu itu sangat berharga saat sesuatu itu hilang. Betapa berharganya setiap detik yang kita punya dalam hidup. Jika tak bisa dimanfaatkan dengan baik, hanya akan ada penyesalan yang selalu datang terlambat.

Satu Hari Bersamamu mengajari kita banyak hal. Soal ketulusan mencintai, perpisahan, kematian, menghadapi ujian hidup dan bertahan dengan semua permasalahan, hingga soal berdamai dengan diri sendiri. Buat kamu yang ingin bisa lebih memaknai pentingnya keluarga, khususnya cinta kasih ibu, novel ini akan sangat menggugahmu.



(vem/nda)
What's On Fimela