Sebelum Kau Hina Wajah dan Tubuhku, Pahamilah Aku Juga Punya Hati

Fimela Editor diperbarui 16 Jul 2021, 07:47 WIB

Memiliki bentuk dan rupa yang berbeda dari orang lain memang sering membuat kita jadi pusat perhatian. Bahkan ada orang yang tak segan untuk mencibir, menghina, dan mengatakan hal buruk di depan kita langsung. Pastinya sangat sedih jika mengalami hal itu, seperti kisah yang dialami salah satu sahabat Vemale ini untuk Lomba Menulis #MyBodyMyPride.

***

Saat aku masih kecil dulu, aku dulu memiliki tubuh paling besar daripada seluruh saudara dan sepupuku. Tubuhku tidak gendut, namun hanya besar. Tubuh besar. Rambut yang keriting seperti mi. Kemudian, seiring berjalannya waktu, aku merasa baik-baik saja terhadap tubuhku. Aku tak begitu merasa ada yang salah dengan tubuhku. Tidak terlalu berisi dan juga tidak terlalu kurus. Tapi, begitu aku sudah kelas 6 SD, aku mulai berjerawat.

Seorang teman berkata kepadaku, “Ih, kamu jerawatan!” Lalu beberapa hari kemudian, satu jerawat lagi muncul. Satu di pipi kanan dan satu di kiri. Temanku yang itu memanggilku “Jerawat Simetris!” karena letaknya yang sejajar. Alhasil, semua orang di sekolah mulai memanggilku itu. Aku mencoba bersabar. Untunglah Bunda menghiburku dengan kata lembutnya. “Jerawat itu artinya kamu sedang dalam masa pubertas. Artinya kamu yang paling dewasa di antara semuanya.” Aku pun mulai merasa tak begitu sedih lagi.

Kemudian aku duduk di bangku SMP, seorang temanku dari SD (masih orang yang sama) datang menghampiriku dan berkata, “Kok elo makin pendek, ya, Din? Padahal dulu waktu SD kita tingginya sama.” Sejak saat itu semua orang semakin banyak mengatakan hal yang sama. “Kok kamu pendek banget, ya?” “Kok kamu nggak tinggi-tinggi, ya?” “Kamu nggak pernah berenang apa?”

Tidak hanya teman-temanku saja yang berkata demikian. Namun keluargaku mulai mengatakannya kepadaku. Kadang diselipkan dengan nada yang kurang ramah di telingaku. “Kamu memang pendek. Kenapa mesti nangis kalau orang bilang itu? Kan mereka nggak bohong?” perkataan Bunda saat itu bagaikan sebuah tamparan. Aku tahu mereka berkata jujur. Namun tetap saja rasanya sakit untuk kuterima. The truth hurts!

Aku semakin jarang bersosialisasi. Karena jika aku bersosialisasi dengan siapa saja, saudara sepupu, teman sekelas, mereka pasti akan mengkritikku dengan pedas. Stres mulai melandaku setiap harinya. Jerawatku semakin banyak dan membekas. Lalu tubuhku juga tak kunjung tinggi. Setiap hari orangtuaku akan memaksaku untuk berenang padahal aku baru saja selesai beraktivitas di sekolah. Karena itu kehidupanku saat SMP tidak begitu baik. Peringkat yang rendah. Nilai yang jelek. Kemudian teman-teman yang selalu mengkritik. Bahkan aku juga menjadi korban bullying. 

(vem/nda)

What's On Fimela
2 dari 4 halaman

Kukira Semua Akan Membaik Saat Aku Masuk SMK

Foto: copyright thinkstockphotos.com

Begitu lulus SMP, aku masuk ke SMK di mana aku tidak akan bertemu dengan teman-temanku yang sebelumnya. Alhamdulillah, kehidupanku sedikit membaik. Teman-teman yang baik. Nilai dan peringkat membaik. Bahkan masuk peringkat 5 besar di kelas. Aku mulai merasa tak begitu buruk terhadap diriku.

Tubuhku memang tidak kunjung meninggi. Namun berkurangnya stres mulai membuat wajahku tidak berjerawat separah semasa SMP. Sayangnya, mimpi burukku kembali datang. Aku kembali di-bully oleh kakak kelasku. Seorang kakak kelas yang selalu menarik-narik kerudungku hingga hampir lepas dan mengatakan bahwa itu bercanda. Suatu hari, aku memaksakan diriku datang ke sekolah karena aku anggota OSIS dan sedang ikut bertanggung jawab dalam sebuah acara. Tubuhku demam dan mual. Namun, aku tetap memaksakan diri untuk masuk karena tak ingin merepotkan semua teman-teman OSIS. Lagi-lagi kakak kelas itu datang. Menarik kerudungku lagi. Kali ini aku tidak ikut tertawa. Aku menegurnya.

Hal itu membuatnya marah dan meneriakiku di depan semua anggota OSIS yang lain. Mengatakan bahwa aku tidak sopan, tidak menghormati senior, dll. Semua orang hanya diam menatap. Sementara aku terus menundukkan kepala. Menahan tangis. Walau kakak kelas itu masih menarik kerudungku. Esok harinya, aku tidak masuk sekolah. Namun Ayahku datang ke sekolah meminta bertemu dengan kakak kelas yang menarik kerudungku. Saat Ayah pulang, Ayah berkata kepadaku, “Makanya jadi anak jangan cuek! Liat, semua orang juga ikut cuek sama kamu ‘kan!” lagi-lagi sejarah terulang. Aku kembali menangis. Menjadi stres. Kali ini aku melanjutkan hidupku dengan sikap yang lebih cuek terhadap hinaan. Karena hatiku sudah terlalu sakit. Aku tidak ingin tubuhku juga ikut sakit.

3 dari 4 halaman

Mulut Pedas Seorang Guru

Foto: copyright thinkstockphotos.com

Untunglah kakak kelas itu sudah lulus. Aku mulai merasa sedikit tenang. Ketika duduk di kelas 3. Saat aku sedang mengikuti Ulangan Akhir Semester. Kebetulan yang mengawasi adalah 2 orang guru. Bu Guru Matematika yang selalu berkata kasar namun dengan nada yang lembut. Kemudian Pak Guru Olahraga yang suka menoyol kepala muridnya. Selama ulangan berlangsung, Bu Guru Matematika itu terus saja mengobrol dengan suara keras. Jika didengar sekilas, dia hanya berbicara lembut dengan logat yang medok. Namun jika mendengar baik-baik apa yang diucapkannya, pasti semua orang akan terkejut. Kedua guru itu sedang membicarakan salah satu temanku yang mengundurkan diri dari sekolah karena alasan tertentu. “Si N (murid kelas lain) itu, ya, sejak pacaran sama S (teman sekelasku sekaligus salah satu teman baikku), dia jadi makin goblok!” katanya terbilang frontal untuk seorang Ibu Guru. Kemudian guru yang satunya lagi hanya tertawa. Aku melihat reaksi teman-temanku yang menunjukkan ketidaknyamanan. Bagaimana rasanya jika seseorang yang dekat dengan sedang dibicarakan jelek di depan semua orang? Bukankah rasanya itu tidak enak? Ulanganku sudah selesai. Aku maju ke depan untuk menyerahkan kertas ulanganku kepada kedua guru itu. Ibu Guru itu yang menerima kertas itu dan berkata, “Eh, kamu namanya N, ya?” dia tak sengaja salah menyebut namaku. Karena kebetulan aku selalu tertukar dengan si N ini karena rupa dan penampilan kami yang 11/12. Aku hendak membuka mulut untuk menjawab namun kalah cepat dengannya. “Kok, muka kamu makin hancur ya?” Otomatis semua orang mengangkat kepala melihatku. Betapa malu dan sakit hatinya aku saat itu. Ingin rasanya membalasnya. Ingin rasanya untuk menangis. Namun aku hanya merapatkan bibir dan kembali duduk ke bangkuku. “Lho? Kok Ibu dikacangin?” katanya dan aku pun masih menutup mulut.

4 dari 4 halaman

Aku Hanya Merasa Heran

Foto: copyright thinkstockphotos.com

Aku semakin heran dengan orang-orang. Aku mengerti mereka hanya menyampaikan pendapat mereka. Namun aku tidak menyalahkan pendapat mereka. Aku marah dengan cara mereka mengatakannya. Memangnya kenapa kalau seseorang pendek? Bukan berarti semua orang yang bertubuh pendek itu malas berenang atau kurang minum susu, bukan? Bisa saja itu karena masalah pertumbuhan atau mungkin sudah keturunan? Haruskah orang-orang membandingkan tubuh mereka dengan yang lain? Haruskah orang menghampirimu dan mengatakan kamu pendek? Memangnya kenapa kalau seseorang berjerawat? Bukan berarti dia itu malas merawat diri, dll. Bisa saja dia mengalami ketidakcocokan dengan suatu produk atau macam-macam. Haruskah seseorang mengkritikmu hanya karena wajahmu jelek? Selama hidupku, aku mulai menjalani lagi sikap cuekku. Bukan berarti aku cuek jadi tak melakukan apa-apa. Aku masih berusaha untuk lebih merawat diri namun hanya saja kemajuannya yang lambat. Karena aku yakin Tuhan YME memang merancangku seperti ini. Aku hanya perlu lebih menyayangi dan lebih menjaga apa yang sudah diberikanNya kepadaku. #MyBodyMyPrideKuharap ini bisa bermanfaat. Terima kasih. Penulis:Dinda Maulidya P. B ( 18 tahun ). Freelance Artist

[pos_1]