"Jamu jamu.."
"Jamu, bu, jamunya..."
Kamu pasti akrab dengan suara tersebut. Bisa jadi, setiap hari kamu mendengar suara seorang wanita yang menggendong botol-botol jamu lalu berkeliling dan mengeraskan suara agar dagangannya laris manis.
Di era yang makin canggih, jumlah pedagang jamu gendong makin berkurang. Perkembangan zaman membuat kita jarang sekali melihat wanita berjualan jamu gendong. Padahal, puluhan tahun lalu, jamu adalah minuman primadona. Kalau sekarang, penyuka jamu akan datang ke toko jamu atau membeli jamu instan buatan pabrik, tidak lagi membeli jamu gendong .
Meski makin banyak jamu buatan pabrik yang lebih higienis dan praktis, masih ada Mbok Jamu yang setia menjajakan jamu gendongnya. Wanita itu adalah Sri Lestari, ia masih berjualan jamu gendong demi melestarikan warisan leluhur dan meneruskan tradisi. Saat ditemui tim vemale.com, ibu Sri bercerita.
"Sebelum aku berjualan jamu gendong, aku sempat kerja di (bidang) konveksi. Namun saat ibu aku pensiun sebagai tukang jualan jamu gendong, akhirnya aku lebih memilih berjualan jamu hingga saat ini. Kira-kira aku sudah dua tahun berjualan jamu," ungkap wanita 33 tahun ini.
Ibu Sri berasal dari Solo dan sudah tinggal di Bogor sejak tahun 2003. Meski jamu makin ditinggalkan oleh masyarakat modern, ternyata masih ada saja penggemar jamu gendong. Ibu Sri tidak takut kehilangan pelanggan walau saingannya adalah jamu-jamu buatan pabrik.
"Aku nggak pernah takut nggak ada yang beli, karena ibu aku sudah punya langganan sendiri. Alhamdulillah, aku nggak cari-cari pembeli lagi," tambah Sri.
Berjalan kaki dengan menggendong bakul jamu yang berat adalah tantangan bagi ibu Sri. Beliau sudah biasa berkeliling komplek dari tempat ia tinggal lalu berjalan kaki. Biasanya Ibu Sri berjualan mulai jam 09:00 pagi hingga jam 16:00 sore. Dalam waktu satu hari, beliau bisa menghasilkan uang sebanyak Rp 100.000. Hasil berjualan itu didapat dari hasil menjual jamu seharga Rp 2.000 - Rp 5.000 per-gelas.
Penghasilan tersebut bisa dikatakan tidak terlalu banyak untuk hidup di kota seperti Bogor. Namun, kesederhanaan ibu Sri membuat penghasilannya cukup untuk banyak hal. Beliau mengirim uang tersebut ke kampung halamannya di Solo untuk membiayai anaknya sekolah dan membayar kontrakan.
Wanita yang masih muda ini tinggal sendiri di kontrakan. "Di sini aku tinggal sendiri, suami kerja di kota lain, jadi tidak bisa pulang setiap hari. Orang tua tinggal di kampung, sedangkan anak aku tinggal dan bersekolah bersama orangtuaku di Solo," tambah ibu Sri.
Bagi ibu Sri, membuat jamu tradisional bukan hal yang sulit. Keahlian ini didapat turun temurun dari sang ibu. Hanya satu faktor yang ia keluhkan saat menjual jamunya yaitu cuaca.
"Kalau hujan, hasil jualan jadi menyedihkan sekali. Walau ada pelanggan tetap, namun penghasilan jadi menurun jika hujan. Baju basah semua saat harus berjualan ketika hujan," ujar Sri yang melanjutkan berkeliling komplek dengan menggendong bakul jamu dan membuka payung di bawah siraman hujan.
Sebelum berpisah dengan tim vemale, ibu Sri mengungkapkan harapannya. Beliau sangat ingin berhasil menyekolahkan anaknya yang baru berusia tujuh tahun ke jenjang yang lebih tinggi. Selain itu, sebagai anak yang masih memiliki orang tua, ibu Sri ingin membahagiakan kedua orangtuanya.
Kita doakan, semoga ibu Sri bisa mewujudkan harapannya. Semoga di musim hujan yang makin lebat ini, pintu rejeki terbuka lebar untuk setiap gelas jamu yang dijual oleh beliau. Semoga kisah ini memberi inspirasi untukmu, bahwa setiap perjuangan butuh kesabaran. Hujan tak menghalangi langkah ibu Sri untuk menjemput rejekinya. Maka bersyukurlah jika saat ini kamu bekerja nyaman di bawah atap tanpa harus basah karena air hujan.
Sudahkah kamu bersyukur hari ini?