Memiliki ibu yang cantik adalah sebuah kebanggaan, namun saat orang lain mengatakan betapa beda ibu dan anaknya secara fisik, hal itu secara tak disengaka bisa menimbulkan luka. Hal itu diungkapkan oleh seorang sahabat Vemale yang mengikuti Lomba Menulis #MyBodyMyPride.
***
Namaku Latifah, seorang gadis yang sedang tumbuh dewasa. Usiaku kini dua puluh tahun, usia di mana aku berada dalam fase percaya diri maksimal namun pernah mengantongi beberapa kenangan buruk yang telah berubah menjadi amunisi yang membuat aku kuat. Inilah beberapa kisah lama yang membekas membuat aku selalu ingat.
Aku terlahir sebagai seorang gadis dengan tubuh yang kecil, dua buah mata sipit, tekstur rambut yang bergelombang, hidung yang kecil dan kulit sawo yang terlalu matang. Aku tahu dari mana aku mewarisi gen ini, dari Ayah. Aku tidak memiliki secuil pun keluhan tentang penampilan fisikku, sampai beberapa hal membuatku benar-benar berubah menjadi muak.
Tampilan fisik yang aku miliki berbanding terbalik dengan ibuku yang cantik bak dewi, perempuan dewasa yang memiliki kulit putih, matanya bulat dengan hidung mancung, ditambah gigi putihnya yang rapi berjejer seperti delima masak. Bisa dibayangkan betapa berbedanya fisikku dan ibu.
Dulu, aku sering menghabiskan banyak waktu dengan ibu, menemani ibu bertemu teman-temannya sembari aku bermain dengan anak-anak mereka. Selama aku bersama mereka, aku tak pernah kering dari komentar mereka, namun aku berusaha mengabaikan ucapan itu. Hal yang paling sering aku dengar, dan masih aku ingat sampai saat ini
“Bu, ini anaknya? Beda banget ya, loh kok bisa hitam padahal ibunya putih banget...” biasanya mereka tak akan berhenti sampai di sana, selalu ada bagian tubuhku yang lain untuk mereka komentari dilanjutkan dengan gelegak tawa seakan-akan itu hal yang lucu.
Saat itu aku masih SD, aku selalu bertanya pada diri sendiri, mengapa mereka gemar membicarakan orang lain seperti itu? Aku tidak pernah memahami sikap mereka. Aku harap hanya sekali saja pengalaman itu terjadi, tapi ternyata tidak pernah berhenti. Mereka selalu mengulangnya.
Aku sebagai subjek mendengar jelas ucapan mereka, dan selalu merasa sedih dengan hal itu. Ketika aku pulang ke rumah dan sudah berada di kamar sendiri kemudian memastikan pintu kamarku terkunci rapat, aku menenggelamkan tubuhku di bawah selimut sambil menangis terisak. Sendirian. Aku harap dengan begitu tidak ada satu orang pun yang pernah melihatku, mungkin dengan begitu komentar macam itu tak akan kudengar dan hidupku akan tenang. Tapi itu tak akan pernah terjadi, aku juga manusia dan memiliki lingkungan sosial, aku beraktivitas, dan memiliki kebutuhan dan tidak lepas untuk berhubungan dengan manusia lainnya.
Aku tak mengingkari memiliki kebencian pada mereka yang gemar membedakan aku dengan ibu, karena fisikku berbeda. Lama-lama benih kebencian tumbuh kepada mereka yang memperlakukanku demikian dan juga terhadap ibuku sendiri. Hal itu dimulai semenjak aku tidak ikut aktivitas ibu, kemanapun dia pergi. Ibu sering menawariku berkali-kali, namun sebanyak apapun ia merayuku untuk ikut, aku selalu menolak.
Aku selalu memiliki alasan, entah itu aku lelah, ada tugas sekolah yang belum terselesaikan, ada janji dengan teman, atau harus ke rumah nenek. Begitupun sebaliknya, jika sekolah meminta ada pertemuan orang tua, aku selalu meminta nenek yang hadir. Hal ini karena aku tidak memiliki pilihan, ayah tidak mungkin pergi karena harus bekerja, tentu yang punya waktu luang adalah ibu. Tapi, aku terlalu takut mendengar komentar orang lain tentang perbedaan besar yang menganga di antara kami berdua. Mereka semua terlalu jujur tentang perbedaan kami, entah antara mereka yang terlalu jujur atau tak peka bahwa aku bisa tersakiti dengan ucapan mereka.
Aku tak pernah menyangka hal itu memengaruhiku terlalu banyak, hubunganku jadi renggang dengan ibu. Aku berubah menjadi anak yang tertutup dengan ibu, dan aku benci menyadari perbedaan fisik yang terlalu jauh di antara kami. Seperti ada tembok besar yang memisahkan kami, dan pembangun tembok besar itu adalah aku sendiri. Syukurnya itu tak berjalan lama, hanya berlangsung beberapa bulan saja.
***
Suatu siang di sekolah, aku membantu Ibu Marwati, seorang penjaga perpustakaan sekolah yang aku kenal akrab. Aku sedang merapikan buku-buku yang berantakan. Ketika aku sedang memungut satu persatu buku yang ingin kutata, aku menemukan buku cerita tentang itik yang buruk rupa. Itik itu diceritakan begitu kuat, itik itu berusaha bertahan dengan hinaan kawanannya sendiri, seekor itik yang membuktikan nilai seseorang tidak berdasarkan tentang keelokan rupa, tapi lebih dari itu. Hal yang menjadikan seseorang memiliki arti adalah tentang budi baiknya, apakah kita cukup bermanfaat?
Tidak hanya untuk diri sendiri tetapi juga untuk orang lain. Kisah pendek itu ternyata membuatku menjadi lebih bersemangat, Latifah kecil yang mencoba memperbaki pandangan orang lain tentangnya, Latifah yang cukup kuat mengembangkan senyumnya dan mengabaikan celoteh orang-orang yang tidak bertanggung jawab dengan lisan mereka.
Aku senang menyadari sikap yang keliru di usia muda. Aku berusaha untuk bertahan dari bully-an ibu-ibu yang tak pernah sadar mereka tengah melakukan bully. Saat ini aku semakin dewasa, serta semakin percaya kecantikan fisik bukan satu-satunya.
Berfokus dengan kekurangan fisik tidak akan mengubah apapun menjadi lebih baik, hal ini hanya akan membuat aku termanipulasi dan menjadi terpuruk. Langkah terbaik melewati ini semua, pertama dengan menerima diriku apa adanya, berhenti mendikte dan memojokkan diri sendiri. Semua manusia tidak terlahir dengan sempurna, setiap manusia memiliki kekurangan.
Sebaliknya, aku harus berpikir bagaimana agar aku bisa menjadi lebih baik dari semua aspek kehidupan yang aku miliki. Toh, kecantikan bukan hanya dari luaran, hal itu tak berarti apa-apa dan juga kering makna. Kecantikan sejati itu datang dari dalam jiwa kita sendiri. Tuhanku telah begitu baik menciptakan aku dengan kelengkapan fisik, serta dalam keadaan sehat tanpa cacat. Semua panca indraku dapat digunakan dengan baik, nikmat ini begitu besar dianugrahkan. Rasanya tidak pantas jika aku mengeluh, karena di luar sana banyak saudara ku yang tidak memiliki pancaindra yang utuh. Aku yakin aku sangat cantik, dan mampu memendarkan aura kecantikanku lewat sikapku terhadap sesama makhluk lainnya.
(vem/yel)