Benarkah Anakku Bahagia Atau Terjebak Dalam Ambisiku Semata?

Fimela diperbarui 10 Okt 2016, 10:56 WIB

Serangkaian doa penuh harapan diucapkan orang tua sejak si kecil dalam kandungan. Seringkali kita berimajinasi, "Bagaimana kelak anakku dewasa ya?". Apakah dia mirip denganku atau ayahnya? Jadi orang seperti apa ya dia nantinya? Jadi dokter, ahli pertambangan, artis atau jadi ilmuwan?

Semua orang tua tentu mendoakan anaknya menjadi orang yang sukses. Bahkan tak hanya melalui doa saja, saat si anak mulai bisa berjalan dan bicara, orang tua telah menjejali hari-harinya dengan berbagai tontonan edukatif, permainan yang mengasah otak, kegiatan-kegiatan yang merangsang motorik hingga les yang berlangsung mulai Senin sampai Sabtu.

"Aku ada les dari Senin sampai Jumat, Tante," kata keponakan saya yang masih berusia sekitar 7-8 tahun waktu itu. "Aku capek, pengen main," keluhnya.

Mulai dari les pelajaran sampai les musik dan balet. Seolah teko yang harus terus diisi tak boleh kosong, keponakan saya dan ribuan anak lain mengalami hari-hari yang penuh dengan jejalan kegiatan sepulang sekolah. Padahal, jadwal sekolahnya pun sudah begitu padat. Berangkat sekolah jam 06.00, pulang jam 14.00, lanjut les hingga jam 19.00. Setelahnya mengerjakan PR dan tugas. Sebagai orang dewasa, saya membayangkan jadwal sepadat itu saja lelah luar biasa. Apalagi untuk anak-anak usia SD.

Pertanyaannya: Apakah anak-anak bahagia dengan segala jejalan itu? Ataukah hanya ambisi orang tua semata?

Latar belakang orang tua ternyata turut berperan penting dalam membentuk ambisi anak dan model pengasuhan orang tuanya. Karir, latar belakang pendidikan dan socioeconomic status orang tua adalah faktor-faktor yang mendorong orang tua dalam pembentukan sosok dan karakter anak. Termasuk goal masa depan anak. Sebuah studi yang dimuat dalam modernmom.com menyebutkan, anak-anak yang lahir dari orang tua dengan socioeconomic status tinggi punya kecenderungan ambisi yang tinggi pula. Anak-anak ini meraih nilai-nilai yang bagus di sekolah, baik karena ambisi dirinya sendiri maupun ambisi orang tuanya. Sebaliknya, anak-anak yang dibesarkan dengan socioeconomic status lebih rendah, punya ambisi yang rendah pula.

Berambisi membentuk anak-anak yang cerdas dalam segala bidang memang tak ada salahnya. Jika orang tua mampu mendukung secara moral dan materiil, mengapa tidak? Tetapi yang harus diingat adalah tiap anak punya keunikannya masing-masing, dalam bidang yang berbeda-beda. Orang tua harus siap dengan kenyataan yang berbeda dengan harapan yang telah tinggi disusun.

Anak-anak, seperti juga orang dewasa, nantinya akan tumbuh menjadi individu yang memiliki kehidupannya sendiri. Orang tua bisa memberikan referensi dan mengarahkannya kepada hal-hal yang baik. Namun jangan sampai niatan baik kita sebagai orang tua, mencederai kepercayaan dirinya dan menghambat potensi sebenarnya dari si anak. Terkadang karena niat baik kita, seringkali kita mengkoreksi apa yang dilakukan anak-anak, sesederhana karena kita mengidentifikasi hal tersebut adalah hal tidak kita sukai dalam diri kita sendiri. Bias inilah yang membuat orang tua sulit memisahkan antara kehidupannya sendiri dengan kehidupan anak-anaknya.

Saya dan Mom, serta jutaan orang dewasa yang ada di dunia ini, pernah mengalami stuck pada titik-titik jenuh tertentu. Entah itu dalam urusan akademis maupun pencapaian diri sendiri. Mendapatkan cercaan saat kita berada di titik terendah dalam hidup, tentunya nggak akan membantu apapun. Justru kita semakin terpuruk karenanya. Begitu pula dengan anak-anak kita yang masih begitu muda menghadapi lika-liku kehidupan. Janganlah terjebak dengan ambisi dan kekecewaan kita terhadap anak-anak, tetapi kita harus bisa memikirkan jalan terbaik untuk mendukung dan membantu mereka keluar dari kesulitannya.

Kahlil Gibran menorehkan sebuah puisi yang begitu indah berjudul "On Children". Semoga kita bisa memaknainya dengan bijak.

"Anak-anakmu bukanlah anak-anakmu
Mereka adalah anak-anak kehidupan yang rindu akan dirinya sendiri
Mereka terlahir melalui engkau tapi bukan darimu
Meskipun mereka ada bersamamu tapi mereka bukan milikmu

Pada mereka engkau dapat memberikan cintamu, tapi bukan pikiranmu
Karena mereka memiliki pikiran mereka sendiri"

(vem/wnd)