"Apakah di jidatku tertulis: aku seorang janda, silakan diganggu, karena aku mau dan bersedia?"
Demikian tanya kesal seorang sahabat, sambil berurai air mata. Kegeramannya beralasan, karena ia belum setahun ditinggal pasangannya wafat. Kepergian sang belahan jiwa meninggalkan seorang anak laki - laki yang harus dibesarkannya sendiri.
Belum lama sepeninggal almarhum suaminya, seorang laki - laki, sahabat lamanya, yang sudah beristri dan berkeluarga menghubunginya melalui social media. Intensitas yang meningkat mungkin tak begitu mengganggu aktivitasnya sebagai janda juga single mom dalam keseharian. Namun isi dan nada pesannya menimbulkan ketidaknyamanan karena semakin hari semakin menjurus pada tindakan pelecehan yang selayaknya tidak dilakukan oleh laki - laki dewasa yang notabene sudah beristri dan berkeluarga.
Godaan, rayuan bahkan 'ajakan' mulai dilancarkan, seolah yakin bahwa si janda yang 'sendirian' akan mudah terjerat umpan. Tindakan yang sedemikian ini jelas tidak mengindahkan perasaan juga perikemanusiaan. Karena menempatkan si janda, hanya sebagai objek permainan 'iseng - iseng berhadiah' dilakukan. Tindakan yang sungguh tidak menghormati keberadaan istrinya sendiri, lebih-lebih adalah tindakan yang tak beretika dalam perbuatan sembunyi - sembunyi yang tak jantan.
"Perawan memang menawan, namun janda lebih menggoda"
Benarkah anekdot penuh stigma ini bisa dijadikan alasan sebuah tindakan? Status janda, apalagi yang ditinggalkan pasangannya karena telah meninggal dunia, semestinya mendapatkan dukungan dan perlindungan. Apalagi jika menyangkut keberadaan anak - anak mereka yang tentunya juga merasakan beratnya kehidupan karena hanya berorang tua tunggal.
Jika saja setiap orang menempatkan empati di atas ambisi dan kepentingan diri sendiri, tentulah anekdot di atas tak akan pernah ada. Kalimat 'andaikata aku adalah dia' adalah kunci pemahaman seseorang untuk bijak memperlakukan orang lain. Semestinya si laki - laki penggoda janda di atas, bisa berandai - andai apabila berada di posisi orang lain. Atau jikapun tetap tak bisa, berpikirlah barang sejenak bahwa bisa jadi ada orang - orang di luaran sana meneruskan anekdot penuh stigma di atas:
"Perawan memang menawan, janda lebih menggoda, tapi istri orang lebih menantang."
Ngeri. Semudah itukah kita melontarkan stigma penuh penghinaan dan melecehkan perempuan seperti di atas?
Dalam hidup, keberadaan karma memang masih diperdebatkan. Namun setidaknya akan selalu ada maling untuk maling yang lain. Oleh karena itu menjadi baiklah, agar maling di dunia ini setidaknya berkurang satu.
Dituliskan oleh Yasin bin Malenggang untuk rubrik #Spinmotion di Vemale Dotcom. Lebih dekat dengan Spinmotion (Single Parents Indonesia in Motion) di http://spinmotion.org/
- Mengolah Rasa dan Mengasah Jiwa Melalui Menulis
- Lika-Liku Padepokan: Menyandarkan Resah Tanpa Melupakan Logika
- Belajar Kearifan Zaman Dari Semangkuk Sup Senerek Khas Magelang
- Menyesap Keistimewaan Dalam Secangkir Kopi di Hari Kopi Sedunia
- Tak Ada Buku Yang Bisa Mengajarkanku Menjadi Single Parent
- Perlunya Poli-Ikhlas Dalam Poligami