Padepokan dalam kacamata tradisi Jawa, mennggambarkan sebuah tempat yang memiliki sumber kedamaian, tempat menimba ilmu dan falsafah hidup. Terkadang, orang-orang pun datang ke padepokan dengan tujuan ‘mengungsi'. Mengungsi dari keriuhan bagi jiwa - jiwa yang resah dan lelah menghadapi hiruk – pikuk kehidupan. Oleh karenanya, padepokan biasanya diwujudkan dalam bangunan sederhana namun luas yang bisa menampung banyak orang, namun lokasinya jauh dari keramaian.
Mengajarkan kesederhanaan dan kesahajaan serta hidup secara maknawi adalah salah satu geliat aktivitas sebuah padepokan dalam agenda hari ke hari. Menuturkan kebaikan dan kemuliaan dalam setiap ucapan dan perbuatan adalah jenis kegiatan lainnya. Tidak tepat lagi disebut sebagai padepokan jika keluar dari jiwa dan nafasnya sebagai tempat yang sederhana dan bersahaja jika pemimpin padepokan yang sejatinya tampil sebagai ikon luhur penuh kebijaksanaan, justru menunjukkan nafsu keduniawian yang kuat dalam aktivitasnya sehari - hari. Jika hari ini ada seorang pemimpin padepokan tertangkap mengkonsumsi narkoba, terindikasi melakukan pemerkosaan terhadap wanita bahkan seorang pemimpin padepokan yang lain, ditetapkan menjadi tersangka kasus penghilangan nyawa manusia, masihkah bisa 'istana – istana mereka' disebut sebagai padepokan?
Meski telah melenceng dari makna 'padepokan' yang seharusnya, nyatanya pengikut dan pendukung mereka masih mengelu - elukan kedua pimpinan padepokan yang sudah diamankan oleh pihak kepolisian. Hingga kinipun, mereka masih menganggap padepokan tempat mereka selama ini ‘mengungsi’ dari dunia ramai adalah tempat terbaik bagi mereka ‘melabuhkan’ gundah dan menepikan resah hidupnya. Loyalitas manusia terhadap manusia lainnya memang terkadang unik dan sedemikian luar biasa mengherankannya. Saat loyalitas tersebut mencapai keyakinan dan kepercayaan tertinggi, bagai ‘kerbau dicocok hidung’, seorang manusia mau melakukan apa yang diperintahkan oleh pemimpinnya. Apalagi pemimpin yang dianggap memiliki religiusitas menembus awang = awang, bak manusia setengah dewa. Mereka menjadi para pengikut yang setia sekaligus membuta.
Masih ingatkah akan David Koresh di Amerika atau Gafatar di Indonesia beberapa waktu lalu? Dan beberapa kejadian lain yang menunjukkan bukti kepatuhan manusia kepada manusia lainnya yang mampu mengalahkan segalanya. Kepatuhan ini mengalahkan logika dirinya sendiri yang seharusnya menjadi penerang dan pemberi alasan – alasan yang tepat atas semua kejadian. Termasuk dasar penjelasan atas setiap perbuatan yang dilakukan baik oleh diri sendiri maupun tindakan orang – orang di sekelilingnya, sekalipun orang tersebut adalah para pemimpin padepokan.
Coba, simaklah apa yang dikatakan oleh mendiang Mahatma Gandhi, salah seorang bijak yang tak pernah merasa perlu untuk memiliki padepokan:
“Keyakinan harus berdasarkan pada alasan – alasan, tanpanya keyakinan akan buta, lalu mati”
Namun ironisnya, Gandhi pun akhirnya mati di tangan seorang Hindu militan garis keras yang memiliki keyakinan sendiri dan berbeda dengannya. Dengan atau tanpa alasan, setidaknya si militan telah yakin untuk melakukan sebuah pembunuhan atas salah seorang yang dipuja di seantero India dan dielu - elukan oleh dunia hingga kini.
Silakan berkeyakinan, silakan berpadepokan, namun milikilah keyakinan yang beralasan. Dan jangan lupakan, semestinya alasan – alasan terbaik tentunya adalah alasan – alasan yang bermuara kepada Tuhan. Bukankah demikian?
Dituliskan oleh Yasin bin Malenggang untuk rubrik #Spinmotion di Vemale Dotcom. Lebih dekat dengan Spinmotion (Single Parents Indonesia in Motion) di http://spinmotion.org/
(vem/wnd)