Judul: Milea Suara dari Dilan
Penulis: Pidi Baiq
Ilustrasi sampul dan isi: Pidi Baiq
Penyunting naskah: Andika Budiman
Penyunting ilustrasi: Pidi Baiq
Desain sampul: Kulniya Sally
Proofreader: Febti Sribagusdadi Rahayu
Layout sampul dan seting isi: Tim Pracetak dan Deni Sopian
Cetakan I, Agustus 2016
Diterbitkan oleh Pastel Books, Anggota Ikapi, PT Mizan Pustaka
Perpisahan adalah upacara menyambut hari-hari penuh rindu.
Kalau Dilan 1 dan Dilan 2 diceritakan dengan sudut pandang Milea, kali ini di Milea Suara dari Dilan, sudut pandang Dilan yang digunakan. Dan menurut saya, novel terakhir ini yang paling seru. Ada banyak rahasia yang akhirnya terungkap. Terungkap sudah apa yang sebenarnya dirasakan oleh Dilan selama bersama Milea. Juga dengan penuturan Dilan, narasinya terasa lebih kocak.
Dilan mengawali kisahnya dengan menceritakan soal dirinya dan keluarganya. Soal sosok ayahnya, Letnan Ical yang berkepribadian keras tapi sangat penyayang. Bagaimana ia memberi contoh untuk bergaul dengan siapa saja tanpa pandang bulu, preman dan tukang judi pun jadi temannya. Tampaknya sifat itu pula yang menurun pada Dilan untuk tak memandang temannya sebatas hitam dan putih saja.
Terkait dengan geng motor, Dilan punya alasannya sendiri kenapa mau bergabung dengan sebuah geng motor. Menurutnya, geng motornya itu adalah geng motor biasa saja. Berkelahi dan berantem yang ia lakukan tak lebih dari bentuk perlawanannya.
Aku bisa mengidentifikasi diriku dengan banyak bergaul bersama aneka macam orang di dalam suatu keadaan tanpa ada orang yang mendikteku. Aku tahu dalam hatiku bahwa jika aku tinggal di mana ada orang yang mendikteku, hidupku justru akan selalu menjadi pemberontakan.
(hlm. 49)
Bunda pun menaruh rasa percaya besar pada Dilan. Termasuk soal mau bergaul dengan siapa. “Bunda ngebebasin kamu itu karena Bunda percaya. Bunda percaya kamu tau batasnya. Kalau enggak percaya, mana akan Bunda bebasin,” (hlm. 51). Lagi-lagi, saya dibuat kagum dengan sosok Bunda ini. Dengan prinsip Bunda seperti itu, Dilan merasa ia didorong untuk tumbuh dengan sehat dan tidak gampang berontak. Buktinya juga, meski Dilan suka buat onar dan seringnya cuma bawa satu buku tulis ke kelas, ia sering jadi juara. Walau, ia sendiri kurang menyukai konsep belajar yang hanya duduk manis di ruangan kelas.
Terungkap juga bagaimana dulu Dilan bisa mengenal sosok Milea yang merupakan murid pindahan di sekolahnya saat itu. Juga soal alasannya melakukan hal-hal “nggak normal” untuk pdkt dengan Milea.
Intinya, jangan datang ke perempuan untuk membuat dia mau, tetapi datanglah ke perempuan untuk membuat dia senang. Kalau kamu tidak setuju, tetapi aku begitu. (hlm. 127)Jalanilah hidupmu dengan mengacu kepada pemikiranmu sendiri tanpa harus memaksa orang untuk berpikir yang sama dengan dirimu. (hlm. 142)
Harusnya, Kang Adi tahu jika benar-benar mencintai dia tak perlu menjadi seperti orang yang memiliki kekuatan di atas yang lain. Dia cenderung memuji dirinya sendiri daripada memuji Lia. Itu sangat menyebalkan. Dan juga harusnya dia tidak perlu menjadi orang yang ingin dianggap hebat dengan banyak memberi nasihat. (hlm. 146)
Dari penuturan Dilan, terungkaplah banyak kesalahpahaman yang terjadi antara dirinya dan Milea. Kalau belum baca Dilan 1 dan Dilan 2 memang bakal kurang terasa gregetnya. Tapi kalau sudah mengikuti Dilan 1 dan Dilan 2, aduh benar-benar dibuat gemes sendiri ketika satu demi satu rahasia terungkap dari penuturan Dilan. Ya ampun, harusnya mereka kan begini. Tuh kan dibilang juga apa, seharusnya kan begitu. Begitulah kira-kira yang akan kita rasa saat membaca Milea Suara dari Dilan ini.
Sungguh mengharukan ketika Dilan menceritakan kenangan terakhirnya bersama ayah tercinta yang berpulang untuk selamanya. Sedih juga ketika akhirnya mengetahui penyebab kematian Akew yang ternyata berbeda dari yang selama ini dipikirkan Milea. Agak menyayangkan juga ketika Dilan menyimpulkan kalau Gunar adalah pacar Milea dan ketika Milea menganggap seorang perempuan yang hadir di pemakaman Ayah Dilan adalah pacar barunya. Cowok kadang terlalu gengsi sementara cewek memang lebih sering memilih untuk menunggu. Ah!
Saya juga kagum dengan sikap takzim Dilan pada Bunda dan guru yang dihormatinya. Meski nakal, dia punya solidaritas yang tinggi. Dia juga paham betul soal arti tanggung jawab. Dan ternyata ia juga memikirkan soal masa depannya.
Membaca Milea Suara dari Dilan ini benar-benar membuat emosi dan perasaan diaduk-aduk tak karuan. “Andai saja Dilan… “ atau “Andai saja Milea…” Kedua pernyataan itu terus menghantui sampai tamat membaca novel ini. Satu pernyataan Dilan yang menurut saya jleb banget ada di halaman 241.
“Aku percaya, orang yang palig egois sebenarnya adalah orang yang paling merasa tidak aman di dunia. Menyembunyikan emosi hanya untuk terlihat seperti baik-baik saja, padahal sesungguhnya menyimpan berjuta pikiran di kepalanya dan begitulah aku saat itu.”
Meski dibuat agak sedih dengan ending-nya, tapi saya cukup menerima alasan Dilan dan Milea memilih jalan tersebut. Kalau kamu sedang dilanda krisis move on, hati-hati baca novel ini bisa bikin kamu mewek.
- [Vemale's Review] Dilan, Dia adalah Dilanku Tahun 1991 -Pidi Baiq
- [Vemale's Review] ''Cinta adalah Perlawanan'' - Azhar Nurun Ala
- [Vemale's Review]: ''The Naked Traveler'' 7 Karya Trinity
- [Vemale's Review] Critical Eleven Karya Ika Natassa
- [Vemale's Review] Dilan: Dia Adalah Dilanku Tahun 1990, Pidi Baiq
(vem/nda)